Part 8. Rasa yang Sama

11.6K 747 30
                                    

Adhisty menghela napas dan mengembuskannya perlahan. Gadis itu menumpu dagunya pada partisi penyekat meja dengan mata tertuju pada sang sahabat. Sementara tanpa Lavanya masih sibuk menenangkan dirinya sendiri. Lebih tepatnya berusaha untui tetap tenang.

Mengambil langkah memutar, Adhisty mendekat ke meja Lavanya. Gadis itu lantas menyandarkan diri ke sudut meja, dengan tatapan tertuju ke wajah ayu sahabatnya.

"Gue mau dengerin, kok. Apa aja," ucap Adhisty pelan.

Masih tak ada jawaban untuk kalimat itu. Dari tempatnya berdiri sekarang Adhisty bisa melihat hidung Lavanya yang sedikit memerah. Pun juga sisa air yang menempel di bulu mata indah gadis yang menunduk dalam sisa tangis itu.

"Ya udah. Nanti, kalo udah mau cerita, bilang ke aku, ya .... "

Adhisty yang semula menyandarkan tubuh ke meja, kini berniat kembali ke tempatnya. Langkah gadis itu terhenti ketika ia mendengar Lavanya berkata, lebih tepatnya seperti berbisik.

"Dhis, lo pernah nggak sih, ditolak sama cowok?"

Adhisty menghentikan langkah dan berbalik, sedangkan sebentuk senyum kini terkembang di bibir gadis itu. Ia kembali ke tempat semula, lalu mengusap bahu Lavanya.

"Nggak. Nasib cinta gue nggak pernah setragis itu, sih. Tapi ...."

"Apa?"

"Gue pernah suka banget sama cowok, tapi cowok itu malah suka sama temen gue. "

Lavanya mengangkat wajahnya. Menatap Adhisty dengan tak percaya.
"Apa mungkin ... Danesh?" tanyanya kemudian.

Adhisty melayangkan pandangan jauh ke depan, seolah bisa menembus deretan kubikel yang berbaris rapi di ruangan itu.

"Itu dulu, Va. Sebelum Ergi datang ke hati gue."

"Ooh ... sorry. Tapi aku nggak rau kalo--"

"Nggak apa-apa. Bukan salah elu, kok. Urusan hati, itu bukan salah siapa atau lebih milih siapa. Nggak bisa dipaksa."

"Iya juga, sih."

"Lo tau, kan, gimana Ergi sayang banget sama gue? Yaaa ... ada bagusnya juga, gue nggak jadian sama Danesh." Mata Adhisty masih menerawang jauh, sedangkan kedua tangan gadis itu terlipat di depan dada.

"Si Ergi mesum, ya?" tanya Lavanya tiba-tiba  yang membuat Adhisty  mendelik.

"Romantis, Vanya! Romantiiis!"

"Ceh! Sama aja!" Lavanya mendengkus, kembali menundukkan wajah. Menyeka sisa air di mata yang membuat wajahnya sembab.

"Gimana, udah mau cerita?" tanya Adhisty lagi.

"Nggak ada yang perlu gue ceritain."

"Beneran?"

Lavanya mengangguk pelan. "Iya. Kalo ada, pasti lo  orang pertama yang gue ajak ngomong. Sumpah!" Selesai dengan kalimatnya, gadis itu lantas tersenyum.

"Oke. Gue seneng. Seenggaknya, temen gue baik-baik aja."

Adhisty berniat kembali ke mejanya, ketika lagi-lagi langkahnya terhenti, saat mendengar ucapan Lavanya.

"Menurut lo, apa ciuman itu selalu jadi simbol jadian, atau cuma ...."

"Hah?! Siapa?! Syailendra?! Danesh?! Siapa?! Kapan?! Maksud gue ...?" tanya Adhisty berapi-api.

"Ish!" Lavanya menutup wajah dengan telapak tangan.

Untuk hal yang satu ini, kata-kata Lavanya telah terdengar oleh telinga orang yang salah. Setelah ini, oasti Adhisty akan mencecarnya habis-habisan.

KEKASIH BAYARANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang