Syailendra memukul sisi sofa dengan kesal. Beberapa kali pria itu bahkan menjambak rambutnya sendiri, karena merasa sangat bodoh. Sungguh bodoh. Kata apa lagi yang pantas mewakili sikapnya, saat hanya diam tanpa membujuk ketika mengantar Lavanya beberapa tadi?
Sepanjang perjalanan menuju apartemen, Syailendra bisa melihat betapa wajah gadis itu muram, tak seceria biasanya. Bahkan Lavanya hanya memandang keluar jendela, tanpa kata.
Tentu saja gadis itu marah, karena menyadari bahwa Syailendra membayar mahal hanya untuk lebih lama mengenang Aksita. Sang kekasih dari masa lalu. Siapa yang bisa menerima, terlebih saat ada rasa yang mulai tumbuh dan mengalahkan rupiah.
"Aaaarrgh!" geram pria itu lagu.
Lagi, Syailendra melayangkan tinjunya ke sisi sofa. Tampak pria itu begitu menyesal, karena begitu enggan menyatakan cinta padahal mulai disergap rasa takut kehilangan.
"Kenapa kau selalu tersenyum? Kenapa kau selalu memandangku seperti itu?" Jarinya menunjuk foto Aksita yang menggantung di dinding.
Sejenak pria itu mematung, membawa angannya kembali ke masa menyedihkan. Kisah yang belum usai ia ceritakan pada Lavanya.
Mobil yang kukendarai terus melesat, lalu menepi tepat di hadapan bangunan berlantai dua berwarna putih. Bangunan megah yang merupakan rumah keluarga Aksita.
Saat aku tiba, pintu pagar terbuka lebar. Beberapa mobil polisi sudah berada di halaman yang luas.
Segera kuparkirkan mobil, lalu berlari keluar. Langkahku sedikit limbung, saat warna biru yang berputar-putar dari sirine mobil polisi menusuk mataku.
Kucoba melesat dengan cepat dengan dada yang berdebar sepuluh kali lebih cepat dari biasanya. Seakan enggan membuang setiap detik, dngan cepat aku merangsak masuk.
Ada apa? Aksita?
Tak dapat kupercaya apa yang tersaji di depan mataku kemudian. Rasanya seluruh tubuh membeku saat kaki ini menjejak lantai rumah besar itu.
Beberapa tubuh tergeletak dengan bersimbah darah. Ada sekurangnya tiga orang. Namun aku yakin, tak ada Aksita di sana! Tidak, karena wanitaku baru saja menelpon. Mungkin saja asisten rumah tangga.
Ada yang berdenyut nyeri dalam dada saat pikiran dan kemungkinan terburuk terus membayang. Tapi tidak ... aku tidak boleh menduga-duga. Aksita ... dia pasti baik-baik saja!
"Maaf, Pak! Bapak tak boleh masuk!" Seorang polisi menahan dadaku, agar aku menghentikan langkah. Namun kuabai, dan aku terus melangkah.
"Saya calon menantu di rumah ini, izinkan saya masuk!"
"Tapi Pak--"
"Di mana Aksita?! Di mana?!" Mataku tertuju pada beberapa orang asisten rumah tangga yang terduduk di lantai, mereka menangis meraung-raung, ketakutan. Membuat suasana semakin mencekam, ditambah bau amis yang menguar.
"Ada seorang lagi! Ada calon istri saya, Pak! Dia ... dia ...."
Kutepis tangan polisi yang masih menahanku, lalu berlari masuk. Kutatap satu persatu raga yang telah meregang nyawa di lantai itu.
Mereka adalah Om Pram dan Tante Listy yang tak lama lagi akan menjadi mertuaku. Aku lantas berbalik, dan itu ... itu ... Melody. Adik Aksita. Jika semua meregang nyawa di sini, lalu Aksita? Di mana wanitaku itu berada?
Kuayun langkah dengan sisa tenaga demi menemukan Aksita. Menapaki satu persatu anak tangga, mencari kepastian atas nasib tunanganku. Aku bahkan tak henti meneriakkan namanya, bagai orang yang kesetanan.
KAMU SEDANG MEMBACA
KEKASIH BAYARAN
Romance18+ Syailendra, pria berusia di awal tiga puluh yang sudah terbilang sukses meniti karir sebagai pemilik EO ternama. Banyak acara besar yang berhasil karena campur tangannya, juga pergaulannya dengan para selebritas membuat hidupnya tak jarang jadi...