Menjelang malam, ketika Syailendra melangkah melintasi taman yang luas. Menyusuri halaman rumahnya yang luas dengan koper di belakang tubuh, sepulang dari apartemen Lavanya.
Bangunan dengan arsitektur Belanda itu tampak megah. Kokoh dengan cat berwarna putih, juga warna coklat di setiap kusen yang berbahan kayu bayam. Rumah itu tetap mempertahankan model lamanya, kecuali jendela yang dibuat lebih tinggi. Seolah memadukan gaya bangunan lawas dan masa kini.
Jika dari luar rumah itu tampak terlihat kuno, maka berbeda dengan interiornya yang ditata lebih modern. Buffet berwarna hitam yang kontras dengan lantai marmer putih, berada di ruang tamu, lengkap dengan sebuah buket bunga dalam vas berukuran besar. Pemandangan segar yang menyambut begitu melangkah masuk.
Tirai yang menjuntai sampai menyentuh lantai membuat kesan elegan, tapi manis dalam hunian tersebut. Juga sebuah jam gantung besar berbahan kayu yang memberi kesn antik. Benda dengan lonceng itu terletak tak jauh dari sofa, berdiri sejajar dengan beberapa burung cendrawasih yeng terawetkan dalam kotak kaca berukuran besar.
Di rumah itu, Syailendra hanya tinggal sendiri, setelah ayahnya pensiun dan memilih tinggal di Bali. Juga satu-satunya adik perempuan yang memutuskan pindah setelah menikah, dua tahun lalu.
Seorang asisten rumah tangga menyambut koper yang ia bawa, ketika Syailendra menjejakkan kakinya ke dalam rumah besar itu. Pria itu melepas senyumnan di wajahnya yang terlihat lelah.
Baru saja hendak berbaring, ketika terdengar ketukan pintu dari luar kamarnya.
"Mas, mau makan apa? Biar saya siapkan makan malam," kata Bu Ratih, setelah pintu kamar terbuka.
Wanita itu adalah asisten rumah tangga yang sudah bekerja untuk keluarga Syailendra selama puluhan tahun.
"Ngga usah, Bu Ratih. Saya mau langsung tidur saja. Capek."
"Baik, Mas."
Syailendra kembali merebah, tapi gerakan pria itu terhenti ketika pandangannya tertahan oleh sebuah figura besar di dinding kamarnya.
Sesosok perempuan cantik berbalut gaun pengantin berwarna putih, dengan mahkota bunga diatas kepala, mengulas senyum lebar di bibir. Senyuman manis, yang hingga kini masih terpahat sempurna di hatinya. Syailendra memejamkan mata sejenak, lalu merentangkan tangan menghadap ke foto tersebut.
"Aku masih sama, tidak ada yang berubah dalam hati ini. Entah itu rasaku, atau bahkan rindu yang selalu memenuhi dan mengambil napasku. Apakah di sana, kamu juga rindu padaku?" gumamnya, seakan pada dirinya sendiri.
"Kau selalu saja tersenyum seperti itu, bahkan saat aku tak bisa menahan rinduku," ucap Syailendra lagi. Lirih, dengan getar yang menyertai.
"Aku sangat sangat merindukanmu ...," bisik pria itu lagi masih dengan mata memejam.
Mengharap sosok yang melukis rindu itu, datang lalu mendekap dan melepas kerinduan yang menggunung.
***
Adhisty terus memandangi Lavanya yang sedang sibuk dengan pekerjaannya. Menopang dagu pada satu tangan, bibirnya melengkungkan senyum jahil pada sahabatnya itu.
"Ngga capek, liatin aku terus?" desis Lavanya tanpa mengalihkan perhatian dari apa yang ia kerjakan.
Tatapan gadis itu masih tertuju pada layar monitor yang ada di hadapannya, dengan tangan menggenggam mouse.
"Pas aku pulang, kalian berdua ngapain aja?" tanya Adhisty sedikit berbisik.
"Ngga ngapa-ngapain ... " jawab Lavanya acuh.
"Ngga percaya!"
"Ya udah."
"Ng ... kalo aku ngga nginep? Kalian tidur berdua? Kan cuma ada satu kamar?" desak Adhisty lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
KEKASIH BAYARAN
Romansa18+ Syailendra, pria berusia di awal tiga puluh yang sudah terbilang sukses meniti karir sebagai pemilik EO ternama. Banyak acara besar yang berhasil karena campur tangannya, juga pergaulannya dengan para selebritas membuat hidupnya tak jarang jadi...