My love belongs to you ➖ 6

124 24 11
                                    

"A Hendry jadi nginep disini?!"

Sontak aku sedikit terkejut. Ada rasa bahagia, dan ada rasa sedikit takut dan ragu pada diriku.

Mungkin kalian akan mengerti perasaan yang aku rasakan juga. Senang rasanya bisa bertemu dengan sahabat lama yang bahkan rasanya sudah seperti kakak sendiri. —karena aku anak tunggal. Tapi, disatu sisi lainnya. Aku merasa bersalah kepada Jefri.

Dia tahu kalau aku dengan a Hendry hanya sebatas sahabat kecil, yang dulu sangat dekat. Bagaimanapun alasannya sekarang, pasti Jefri juga kurang setuju jika kami hidup dalam atap yang sama sedangkan status kami adalah hanya seorang teman. Aku takut Jefri akan berprasangka aneh, ataupun berpikir kalau aku gadis yang seperti apa jika mengajak 'teman' laki-lakinya menginap dirumah berdua.

Ahh iya, aku lupa.

Sebenarnya yang menjadi alasan kenapa aku sampai ber-negative dan over thingking seperti ini karena mamahku ada keperluan keluar kota selama seminggu. Dan alhasil, karena kebetulan a Hendry ada di Bandung. Mamah malah menyuruh a Hendry untuk tinggal disini saja, sambil menemani dan menjagaku.

Aku sudah bilang kepada mamahku, kalau aku tidak enak pada Jefri. Tapi mamah tetap bersikukuh, dan bilang akan menjelaskan apa pun semua yang akan terjadi. "Mamah yang bakal tanggung jawab semuanya." Seperti itu perkataannya.

Tapi tetap saja…

Dan juga, masalah aku dengan Jefri yang berpacaran. Mamah ternyata tahu, —ahh tentu, itu karena mamah ada dirumah saat kejadian itu. Tapi, mamah tahu lebih dulu karena Jefri yang meminta persetujuannya sebelum memutuskan ingin mengajakku berpacaran.

Aku memundurkan langkahku kebelakang, agar a Hendry dapat masuk kedalam rumah dengan koper dan bawaan lainnya. —yaa, aku terkejut tadi saat membukakan pintu yang aku kira seorang tamu. Entah siapa.

"Kenapa sih Lala, riweuh pisan."¹ Komen a Hendry. Rusuh dari mananya coba? Cuman kaget, terus teriak gitu.

-,-

"Ihh a Hendry kenapa disini sih? Aa mah ngga ngertiin Lala, tau ngga?" Kataku mendengus.

"Emangnya kenapa? Jagain kamu kan, sambil nemenin. Emang ngga takut sendirian?" Kata A Hendry sambil berjalan terus mendorong kopernya.

Dia terdiam, lalu menoleh padaku. "Mun aya jurig nyulik kumaha?"² Katanya, lalu tertawa keras dan melanjutkan langkahnya menuju kamar tamu.

Aku mendengus, kesal. A Hendry selalu saja bercanda disaat aku ingin berbicara serius padanya. Padahal ini penting, dia harus tahu kalau aku punya pacar agar dia tidak harus seposesif itu. Aku punya Jefri.

Menyodok saku dari celana yang aku gunakan, aku meraih ponselku. Berniat untuk menghubungi Jefri.

Panggilan teleponku dijawab, dengan suara sweet deep yang selalu aku rindukan. Baru saja dia mengatakan salam dan namaku, hatiku sudah berdegup kencang tidak karuan karena suaranya itu. —Hm, aku dimabuk kepayang hanya karena suara Jefri.

"Jefriii.." Panggilku.

"Iya Ruth?"

"Aku rindu." Kataku, lalu dengan cepat menutup mulutku dan berlari kekamarku.

Aku merembahkan tubuhku keatas kasur. Sambil senyum-senyum tidak jelas, dan berguling-guling. Berharap Jefri juga menjawab perkataanku tadi dengan kalimat… Iya, aku rindu juga.

"Mau ketemu?" Tanya Jefri. Dan aku sedikit memanyunkan bibirku, karena jawabannya tidak terlalu sesuai denganku. Tapi, ajakannya membuatku senang.

"Sudah pulang?" Tanyaku. Jefri memang pulang telat karena ada perkumpulan rohis tadi. Sedangkan aku akhirnya pulang menggunkan ojek online yang dipesankan dirinya, karena takut terjadi apa-apa.

Perahu Kertas | ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang