Prolog

646 81 22
                                    

"MULAI sekarang kamu akan tinggal di sini."

Anak perempuan itu menatap bangunan rumah di hadapannya. Tidak seperti rumah biasa. Arsitektur khas tradisional Jawa Tengah melekat kental dalam desain rumah yang menggunakan susunan media kayu dengan empat tiang sebagai penyangga utama di bagian terasnya itu. Pun, mempertahankan lantai tegel hitam yang semakin memperkuat kesan kuno, tetapi berdaya nilai estetis.

Uniknya lagi, rumah itu memiliki banyak pintu dan jendela. Pintu utama terletak di tengah-tengah, sejajar dengan atap tingginya yang berbentuk tajuk piramidal.

Sebuah pelang bertuliskan 'Panti Asuhan Khaira Ummah' terpampang di depan halaman masuk rumah Joglo tersebut. Siapa sangka jika panti asuhan itu yang sebentar lagi akan menjadi tempat tinggal baru untuknya.

"Ayo, kita masuk!"

Langkah kecilnya mengikuti seorang wanita bergamis hitam, melintasi paving segi enam yang menuju ke bangunan pendopo tersebut. Genggaman kesepuluh jari tangannya sedari tadi tak lepas dari tali ransel merah muda kesayangannya. Ransel terakhir yang dibelikan ibunya di pasar.

Namun, tak ada yang bilang setelah ia merengek minta dibelikan ransel baru itu justru pada malam harinya ibunya harus dilarikan ke rumah sakit. Ibunya sakit keras. Sakit yang selama ini tersembunyi di balik topeng senyum ketika sejatinya dari bibir itu mengecap rintih. Ibunya memang selalu pandai menyembunyikan apa pun. Apalagi kalau soal menyembunyikan lauk dari kucing-kucing yang hobi menggondol ikan hasil gorengan ibunya.

Dan tak ada yang bilang kalau rumah sakit itu akan menjadi tempat ibunya kemudian berpamitan. Ya, berpamitan untuk pergi ke tempat yang jauh.

Tak mungkin pernah bisa kembali.

Meninggalkan putri kecilnya ini sebatang kara.

Selamanya.

Tidak.

Bukankah ia masih memiliki ayah?

Tapi ....

Entahlah, sosok yang dikenalnya hangat dan penuh cinta selama delapan tahun hidupnya itu tiba-tiba saja menghilang seperti ditelan bumi. Mungkin jika ayahnya datang, ia tidak harus pergi ke tempat ini. Ke tempat di mana anak-anak seusianya tiada lagi mendapat naungan orang tua. Anak-anak yang bernasib sebatang kara.

Pandangan anak perempuan itu menangkap beberapa orang yang berjalan berlawanan arah dengannya. Seorang anak laki-laki seumuran-atau mungkin lebih tua darinya-itu menjadi titik fokusnya di antara tiga orang dewasa yang membersamainya.

Apakah anak laki-laki itu baru saja mendapati keluarga yang akan mengadopsinya? Bukankah itu bagus? Setidaknya untuk mereka yang mendamba keluarga baru.

Selayang pandang, mata mereka saling berserobok. Mata legam ... warna yang sama dengan matanya. Mata legam yang tak berbeda pula memancarkan mendung di dalamnya.

Ketakutan ....

Kesepian ....

Kebimbangan ....

AmbivalentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang