2. Emfisema

532 68 33
                                    

KERUTAN tajam terbentuk di kedua pangkal alis tebalnya yang nyaris saling bertaut. Begitu pun sepasang kelopak matanya yang masih memejam erat menyertai ketegangan pada otot-otot wajah pemuda itu.

Untuk sekian detik ia merasakan beban tubuhnya tidak lagi menapak tanah. Terperosok dengan jeri melewati tembusan udara yang semakin kuat menyedot raganya ke dalam ruas buluh pusaran awan-awan hitam.

Tolong ... siapa pun tolong, keluarkan aku dari sini.

Sial, suaranya tidak bisa keluar. Entah kenapa udara di sekitarnya mendadak berubah pengap. Disusul gema deru angin yang bertumpang tindih menjamah lobus temporalnya.

Sesak.

Upaya membuka mata dilakukannya dengan sekali kedikan cepat. Akan tetapi, kenapa semuanya gelap?

Hampa.

Tangannya tidak bisa meraba apa pun. Bagaimana ia bisa mengenali tempat di mana dirinya terdampar saat ini?

Oh, minimal ada kabar bagus. Kedua kakinya sudah kembali menyentuh gravitasi bumi. Cukupkah itu menjadi alasannya bersorak lega? Satu fakta saja, ia orang yang mudah mabuk udara. Jadi setidaknya mendarat tetap lebih baik daripada saat tubuhnya harus melakukan simulasi astronaut melanglang ruang antariksa dengan roket andalan mereka.

Setitik cahaya tiba-tiba muncul di kejauhan. Cahaya kekuningan yang mulanya kecil, perlahan memancarkan silaunya ketika semakin mendekat. Suara mesin pun mulai terdengar. Benar saja, rupanya cahaya itu berasal dari lampu bumper depan mobil yang tengah melaju. Seketika dari sedikit penerangan itu, ia bisa melihat jalanan aspal tempatnya berpijak juga pemandangan sekelilingnya yang dipenuhi pepohonan kebun kayu putih dan pinggiran tebing.

Tunggu, mobil itu bisa menabraknya jika ia tidak menepi. Meskipun lajunya cukup terbilang sedang, tetapi mobil itu seakan tidak mau berhenti. Hei, apa pengemudinya tidak melihat ada orang yang berdiri di tengah jalan raya?

Ia harus menyingkir. Namun, apaan-apaan kakinya ini? Kaku. Tidak bisa digerakkan. Hingga entah sejak kapan sulur-sulur seperti pucuk ranting itu menerobos muncul dari bawah tanah untuk melilit kedua kakinya dan terus berkeluk-keluk menjalar ke bagian tubuh atasnya. Dalam sekejap sekujur tubuhnya telah benar-benar muskil bergerak bebas. Sementara kurang dari dua puluh meter di depannya, sorotan lampu mobil yang terus melaju itu semakin menyilaukan pandangannya.

Tidak!

Berhenti!

Rasanya sudah cukup lama pemuda itu memejamkan mata tatkala menanti detik-detik ciuman pertamanya dengan bodi mobil. Namun, selain fantasi sulur-sulur aneh yang mengikatnya itu, tubuhnya terasa baik-baik saja. Masih di tempat. Tidak terluka. Utuh. Selamat.

Kepalanya terangkat menatap keberadaan mobil dengan mesin dan lampu bumper yang masih dalam keadaan menyala, tetapi rodanya sudah berhenti itu. Dari jarak lima meternya kini, ia beralih atensi pada dua orang berboncengan motor RX-King yang tengah memaksa sang pengemudi keluar dengan menggedor-gedor kaca pintu mobil. Lebih-lebih pengendara depan motor yang sangat brutal menggemborkan gertak ketidaksabarannya. Sayang, wajah dua orang berperawakan kekar itu tidak terlihat jelas karena terhalang buff masker senada pekatnya langit malam yang membentang tanpa batas di atas sana.

Seorang pria berkisaran usia akhir tiga puluhan yang merupakan sang pengemudi mobil telah diseret keluar kawanan begal itu. Ya, kawanan begal yang selanjutnya menghajar pria itu tanpa ampun. Tanpa menghiraukan rintihan lawan penyerangan mereka yang sejatinya tak memiliki kemampuan beladiri sepadan dengan aksi membabi buta kawanan begal itu. Segumpal cairan merah kental memuncrat begitu saja dari mulut korban kejahatan jalanan mereka. Menambah lukisan derita bilur yang tercetak sebagai mahakarya di wajahnya. Aspal yang keras dengan sukarela menampung tubuh pria malang yang pada akhirnya jatuh terkapar itu.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 15, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

AmbivalentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang