Chapter Two

23.3K 1.4K 20
                                    

Bagus Dira! Kamu adalah aktris yang sangat hebat. Mungkin sedikit kepercayaan diri akan menjadikanmu aktris besar sekelas Angelina Jolie dan memenangkan Grammy Awards.

Dua sejoli di hadapanku tampak sangat mesra dan serasi, sedang aku tampak seperti seorang penonton drama roman dengan hati yang berbalut nestapa. Sahabatku dengan seorang pria berwajah campuran yang sangat tampan. Bukan, bukan Maureen dan Azka. Keduanya tidak akan seintim itu. Tapi Maureen dan Steve. Perlu kutegaskan sekali lagi? Steve!

Dan bagian paling menyedihkan dariku adalah aku duduk bersama menemani mereka sambil sesekali melontarkan candaan yang kupaksa agar lucu dan berakhir sangat garing dengan memasang senyum paksa yang membuat sudut bibirku sakit. Hatiku sangat perih, seperti ada yang meremas keras hatimu dan membuatmu susah bernapas. Bukan, ini bukan reaksi jatuh cinta, meski deskripsinya hampir sama, aku tau dengan jelas, rasa nyeri di hatiku bukan rasa nyeri ketika jantungmu berdegub kencang ketika sedang jatuh cinta. Rasa ini sangat jelas. Rasa cemburu.

Kalau kata orang cemburu menyayat hati, mungkin istilah itulah yang sedang digaungkan oleh hatiku kini.

"Aku ke toilet dulu yah," pamitku meninggalkan pasangan baru yang tengah kasmaran ini. Keduanya mengangguk serempak menyetujui. Aku pun segera berjalan cepat menuju toilet kantin kampus. Mataku sudah tidak mampu menampung hujan air mata yang mendesak keluar lagi. Sepertinya aku akan menghabiskan waktu cukup lama di toilet.

"Kamu terlihat menyedihkan," sapa seseorang dari balik dinding pembatas yang aku lewati untuk mencapai toilet wanita.

Aku menoleh kesal. Apa maksudnya dengan menyedihkan? Dan yang kudapati adalah sosok seorang Azka. Yang tampak tak kalah menyedihkan dibandingkan denganku.

"Kamu juga," tembakku langsung. Ia terkejut sesaat lalu kembali mengendalikan dirinya. Senyum miris tercetak di bibirnya, bukan senyum atau seringai yang biasa ia tunjukkan kepadaku dan Maureen.

"Kamu tau?" tanyanya pelan. Aku mengangguk. Aku tau, yang ia maksud adalah apa aku mengetahui perasaannya pada Maureen. Dan jawabannya tentu saja. Bahkan seorang dengan gangguan penglihatan pun dapat melihat dengan jelas kalau Azka menyukai Maureen.

"Menyedihkan. Orang lain mengetahui perasaanku dengan jelas, sedangkan gadis yang kutaksir sama sekali menutup diri dan tidak mau tau menahu tentang perasaanku padanya." Ia tertawa hampa.

"Kita sama-sama menyedihkan. Dan aku tau kamu pasti juga tau bagaimana perasaanku," lirihku pelan.

"Kalau yang kamu maksud adalah perasaanmu pada si pria itu, aku dapat melihatnya dengan sangat jelas meski kamu dapat menyembunyikannya dengan baik."

"Steve. Pria itu punya nama, dan namanya Steve."

"Ya, Steve itu. Dan satu lagi, Di." Ia menggantung ucapannya, mengundang alisku untuk menaik sebelah menagih sambungan ucapannya.

"Kita sama sekali tidak sama. Kamu lebih menyedihkan dariku. Setidaknya aku telah berusaha memperjuangkan cintaku meski pada akhirnya Maureen lebih memilih pria itu. Sedangkan kamu? Kamu bahkan sudah mundur sebelum memulai. Kamu ibarat seorang prajurit yang berkhianat dan menyerahkan tonggak kemenangan ke tangan musuh."

Aku menggeram mendengar ucapan Azka. Aku menatapnya dengan amarah yang menyelubungi pandanganku.

"Lantas kalau aku semenyedihkan itu lalu kenapa? Toh perjuanganku nantinya tidak akan menghasilkan apapun. Hanya akan menyisakan sebuah lubang untuk persahabatanku dan Maureen! Dia mencintai Steve, dan Steve juga mencintai Maureen. Dan jika aku mencintai Steve, bukankah aku harus merelakannya untuk Maureen? Bukankah teknis mencintai itu adalah membuat seseorang yang kamu cintai bahagia? Dan aku sedang melakukan itu. Bukankah mencintai itu tidak harus memiliki?" Aku melancarkan argumen tanpa berpikir apapun lagi. Yang kutau, aku butuh menyuarakan perasaanku.

Love in SilenceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang