Epilogue

29.7K 1.3K 32
  • Didedikasikan kepada all my readers ^^
                                    

"Ara, ini mau gimana? Aduh, mana persiapannya belum sempurna lagi. Aduh. Ini lagi, Bapak pengantinnya malah santai-santai, bukannya ngebantuin Ibu pengantinnya. Kamu juga, Ara! Dua bulan lagi kamu mau menikah loh! Malah bisa santai-santai main catur sama Papa. Mama sibuk nih ngurus tetek bengek pernikahanmu," keluh Mama mewarnai permainan caturku yang seru dengan Papa.

"Skak mat! Yeii... aku menang. Papa harus nraktir aku nanti," seruku setelah berhasil memenangkan permainan dari Papa.

Papa menunduk lemas. Memandangi pion-pion catur kebanggaannya yang baru saja kukalahkan.

"Yah, kalah deh. Mama sih," sungut Papa berpura-pura ngambek.

Mama berdiri di samping Papa dan menjewer pedas telinga Papa, sukses membuatku tertawa terpingkal-pingkal karena ulah mereka yang lucu.

"Oh, bagus. Jadi semua salah Mama yah? Papa uda tau putrinya mau nikah juga!" Mama semakin mengencangkan jewerannya, membuat Papa hanya mampu meringis.

Aku tertawa semakin kencang.

"Kamu juga, Ara! Uda tau mau nikah juga. Pulang kantor tuh mandi, ganti baju, belajar masak, biar nanti bisa nyenengin suamimu. Ini, baju kantor aja masih nempel di badan. Bau amis tau," sambung Mama sambil menunjuk pakaian kantorku yang masih melekat sempurna di tubuhku. Aku menyengir pura-pura tak bersalah.

"Ara mah nyenengin suami di ranjang aja, Ma," jawabku nyablak.

"Hush! Anak gadis, belum waktunya kamu ngomongin yang begituan! Dua bulan lagi baru kamu boleh ngomong kaya gitu," balas Mama lengkap dengan pelototan mautnya.

"Wajar kali, Ma kalau Ara ngomong begitu. Kan dua bulan itu sebentar aja. Bentar lagi juga mereka sah. Ya nggak, Ara?" ujar Papa meminta dukungan.

"Yo'i, Pa," jawabku yang semakin membuat Mama kebakaran jenggot melihat tingkahku dan Papa.

"Ara, apa perlu Papa ajarin Steve trik-trik khusus biar cepat tokcer?" bisik Papa keras yang makin membuat wajah Mama merah menahan amarah mendengarnya.

"Wah, boleh tuh, Pa. Nanti biar Papa rangkum aja semua, trus die-mail ke Steve," jawabku sekenanya.

"Papa! Ara! Bapak sama anak kok sama aja! Dosa apa aku, Ya Tuhan!?" pekik Mama histeris. Aku dan Papa cekikikan geli sambil ber-high-five ria setelah berhasil menggoda Mama.

Umurku boleh dua puluh tujuh sekarang. Tapi sifat-sifatku jika bersama dengan orang yang kusayangi akan selalu seperti ini. Apa adanya, tanpa mengingat jumlah angka yang terus membunti usiaku.

Mama memijit pelan pelipisnya yang mungkin pusing akibat ulahku dengan Papa sebelum dering telepon rumah kami mengagetkannya, menjerit minta diangkat.

"Halo, kediaman Alexandra," jawab Mama.

Aku merapihkan pion-pion catur sisa permainanku dengan Papa yang berserakan.

Dua bulan lagi aku akan menikah dan melepas masa lajangku, menyusul sahabatku yang telah lebih dulu menikah lima tahun yang lalu dengan Azka, Maureen. Hidup mereka sangat bahagia sekarang, menanti kelahiran putri mereka yang hanya tinggal menghitung bulan. Benar-benar membuatku iri! Aku juga ingin seperti itu dengan Steve...

Ah, Steve. Dia baru saja pulang bulan lalu dan langsung menepati janjinya. Datang ke rumahku tanpa basa-basi dan langsung meminta untuk menikahiku secara resmi pada Mama Papa-ku dengan membawa serta keluarganya. Aku sangat tersentuh mengetahui bahwa ia menepati janjinya. Seulas senyum tersungging di bibirku kala mengingatnya.

"Ara," panggil Mama datar. Aku menoleh dengan tatapan tanya.

"Maureen... Maureen kecelakaan..." lirih Mama.

Love in SilenceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang