Chapter Five

18.8K 1.2K 19
                                    

Dua tahun telah berlalu. Banyak perubahan yang terjadi di sekitarku. Mulai dari dosen-dosen pengajar yang silih berganti, rotasi kelas dan fluktuasi harga dolar maupun perubahan moneter dan lingkungan sosial politik yang semakin memanas. Tapi, ada satu hal yang masih bertahan dari dulu sampai sekarang. Perasaanku pada Steve.

Pada diriku sendiri, aku berhenti bersikap munafik. Aku mencintainya dan tak sanggup melupakannya. Di tambah lagi dengan keberadaannya yang selalu ada di sekitarku, mengingat statusnya sebagai pacar sahabatku, membuatku harus selalu menekan perasaanku setiap bertemu pandang dengannya. Rasa itu masih ada. Bahkan semakin besar. Dan cemburu itu juga selalu mengiringi. Hal yang membuatku sangat resah.

Nggak boleh begini. Sudah seharusnya dari setahun lalu aku menyerah. Dan pada kenyataannya aku memang sudah menyerah sebelum sempat berjuang. Tapi kurasa hati kecilku tak pernah menyerah untuk selalu menggaungkan nama Steve.

"Dan aku selalu berharap kisah ini dapat menghilang seperti debur ombak di lautan. Aku tak sanggup lagi bertahan. Rasa ini membunuhku perlahan," tulisku pada selembar foto. Foto orang yang kucintai, yang tak dapat kumiliki dan hanya bisa kupandang dari jauh.

Aku pengecut.

Aku pembohong.

Aku penusuk dari belakang.

Tapi aku tak bisa membohongi hatiku sendiri. Aku mencintainya dan selalu mencintainya. Selama sebelas tahun ini. Dan tidak pernah berkurang sedikitpun.

"Di," suara itu mengagetkanku. Cepat, aku memasukkan foto yang tadi kutulis di balik diktat kuliahku.

"A--apa?" Cepat aku menoleh dan menemukan sosok Ivan, salah seorang teman kuliahku, sedang menatapku lurus dengan senyum di wajahnya. Pria tampan berwajah oriental, khas dari pihak ayahnya. Banyak di antara teman-teman kuliahku baik yang berjenis kelamin perempuan maupun yang agak 'melenceng' jatuh hati padanya. Tidak heran, mengingat wajahnya yang tampan seperti member Super Junior bernama Choi Siwon dan kepribadiannya yang ramah dan murah senyum. Aku sendiri pun mungkin akan jatuh cinta padanya, andai hatiku tidak mengikat mati pada satu sosok pria, Steve.

"Kamu sibuk, hm?" Ia menundukkan diri secara terbalik di bangku di hadapanku dengan menyandarkan dagunya di sandaran bangku meja kuliah.

"Ng--nggak juga," jawabku ragu. Sepertinya aku tidak sedang sibuk. Selain sibuk memikirkan kisah cintaku yang berakhir sebelum dimulai.

"Kenapa?" tanyaku lagi.

Ivan menyengir sambil menggaruk tengkuknya.

Dari gelagatnya, bukannya aku terlalu percaya diri, tapi aku bisa melihat kalau dia --mungkin-- menyukaiku. Sosok seorang pria yang mempunyai perasaan lebih pada seorang wanita itu sangat mudah terlihat, jika kamu memperhatikannya dengan saksama tentu saja.

"Bisa temenin aku keluar nggak tanggal 25 nanti?" Ia menatapku dengan pandang ragu dan menunggu.

Tanggal 25? Berarti masih sekitar tiga minggu lebih lagi dari sekarang. Untuk apa Ivan mengajakku?

"Ini bukan ajakan untuk menemanimu mencari hadiah untuk gebetanmu kan?" Belajar dari pengalaman sebelumnya, aku harus memastikan motif ajakan ini dulu, supaya hal yang sama tidak terulang seperti ketika Steve mengajakku.

Ah, Steve! Nama itu lagi. Kenapa hidupku tidak bisa lepas dari nama pria itu dari sebelas tahun yang lalu? Sepertinya amnesia jalan satu-satunya agar aku bisa melupakannya.

Ivan tertawa renyah. Bahkan tawanya saja sangat berirama, nggak heran kalau wanita maupun setengah 'wanita' banyak yang jatuh cinta padanya. Sayang, kenapa aku tidak jatuh cinta juga padanya? Mungkin keadaan akan jauh lebih baik untukku.

Love in SilenceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang