Chapter Eight

17.4K 1.2K 9
                                    

Seminggu berlalu sejak terbongkarnya rahasia besarku. Maureen masih tidak berbicara denganku setelah kejadian itu.

Aku menyembunyikan kepalaku di balik bantalku yang nyaman. Di hari Minggu begini ditambah mood yang porak poranda akibat insiden foto pembawa masalah itu. Positif, aku bakal jadi penghuni abadi di kamarku seharian ini.

Pintu kamarku tiba-tiba menjeblak terbuka. Aku mengangkat kepala sedikit dan melirik ke oknum yang berani melanggar batas teritori pribadiku. Mama. Aku kembali menundukkan kepalaku lagi mencium bantal yang nyaman dengan posisi tengkurap.

"Ara, mau sampai kapan kamu baringan begitu? Itu temanmu datang nyariin kamu katanya," tegur Mama yang berhasil membuatku mengangkat wajahku dan menoleh dengan kening berkerut ke arah Mama.

"Teman...? Siapa, Ma?" tanyaku bingung. Sepertinya aku nggak sedang menunggu kedatangan siapapun. Atau mungkin aku lupa ya?

"Nggak tau, Mama nggak pernah liat. Cowok. Wajahnya asia timur gitu. Ganteng banget deh orangnya," jawab Mama sambil bergaya ala fangirl, membuatku sukses bergidik ngeri. Apa-apaan Mama-ku itu?

"Ara liat dulu deh siapa," putusku pada akhirnya sambil bergerak bangun dari pembaringan cantikku yang nyaman. Sesaat terasa sangat sedih sekali harus meninggalkan kehangatan kasurku, tapi mau bagaimana lagi? Aku penasaran akan tamu yang dimaksud Mama.

Aku menjejakkan kakiku meniti satu per satu anak tangga, bergerak turun ke lantai satu dan melangkah ragu menuju ruang tamu sambil menyembulkan kepalaku dari balik dinding pembatas ruang tamu, hendak mengintip siapa gerangan si tamu tak diundang.

Ivan!?

Buat apa Ivan datang kemari?

Aku melangkah menghampiri Ivan yang tengah duduk manis di sofa ruang tamuku. Ivan tak menyadari langkahku sampai aku mendudukkan bokongku di sebelahnya.

"Eh, Di. Kok belum siap-siap sih?" tanyanya begitu melihat wujudku. Aku memang tidak mempersiapkan diri untuk apapun, karena memang agendaku hari ini hanya tidur seharian di kamar. Bahkan sekarang saja aku menemui Ivan dalam kondisi belum mandi dan masih berkostum piyama Hello Kitty-ku.

Aku mengernyit bingung.

"Siap-siap buat apa?" tanyaku.

"Kamu lupa? Hari ini tanggal 25, kita ada janji jalan hari ini," Ivan mengingatkanku sambil matanya melotot tak percaya menatapku.

Tanggal 25? Err... ah! Aku ingat! Tanggal 25, 3 minggu lalu aku menyetujui ajakan Ivan buat jalan, dan aku melupakannya begitu saja karena masalah-masalah yang menimpaku belakangan ini.

"A--ah! Aku ingat! Aduh, maaf yah, Van. Aku lupa tadi," ucapku sambil menyengir lebar menunjukkan deretan gigiku yang bahkan belum kugosok.

"Hmm... ya uda deh. Tapi jadi, kan?" tanya Ivan memastikan.

Sejujurnya, aku malas keluar rumah dan hanya ingin menyepi di balik selimutku sambil merenungi semua kesalahanku, tapi tidak baik membatalkan janji dengan Ivan begitu saja. Dia bahkan sampai sudah datang ke rumahku segala untuk menjemputku.

"Oke. Tungguin bentar ya. Aku mau siap-siap dulu," putusku akhirnya sambil meninggalkan seulas senyum untuknya.

Aku mandi secepat yang aku bisa dan berdandan menutupi mukaku yang kusut dan kuyuh. Aku membubuhkan bedak tabur lebih tebal dari biasanya di wajahku untuk menutupi lingkar mataku yang menghitam. Nggak lucu dong kalau misalnya Ivan ngajak aku hang out tapi mataku kaya mata panda sambil jalan di samping cowok kece.

Hanya butuh 20 menit dan aku pun sudah siap sedia menemui Ivan di lantai bawah.

"Van, yuk!" ajakku menginterupsi pembicaraan serunya dengan Papa dan Mama.

Love in SilenceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang