Chapter Six

18.1K 1.2K 5
                                    

Rapat senat sangat melelahkan. Diselingi debat panjang hanya untuk penyelenggaraan sebuah acara yang berlangsung hanya sehari saja. Tapi tidak ada yang bisa aku dan Maureen lakukan. Ini resiko terpilih menjadi salah satu anggota senat. Dan karena aku dan Maureen dasarnya adalah orang yang gemar berasosiasi, maka kami pun senantiasa mengikuti kegiatan senat walau menggerutu sedikit dan setengah hati.

Agenda rapat kali ini tentang perayaan Hari Proklamasi Kemerdekaan. Aku heran, kenapa untuk memperingati sebuah Hari Proklamasi sampai diadakan acara yang panjangnya seabrek? Bukankah inti dari Proklamasi itu adalah mensyukuri hikmah kebebasan itu sendiri? Aku pribadi merasa agenda-agenda seperti lomba tujuh belasan yang diadakan tiap tahun di kampusku itu hanya membuang-buang dana dan tenaga. Bukankah lebih baik jika digantikan dengan acara 'nyekar' ke taman makam pahlawan saja? Tapi apa daya? Itu merupakan salah satu taktik anggota senat kami untuk menciptakan libur sehari dari rutinitas kuliah yang padat.

"Huah, capek. Bisa penuaan dini nih aku kalau tiap hari ikut rapat senat mulu," ujar Maureen sambil merentangkan tangannya lebar, mengusir kekakuan otot-ototnya.

"Yah, konsekuensi jadi anggota senat sih, Reen. Siapa suruh kita kepo banget gabung di senat," jawabku.

"Iya tuh." Bibir Maureen mengerucut lucu.

"Tapi nggak papa deh, kan kamu juga ikut senat, Di. Jadi aku nggak bosen-bosen amat selama gabung di senat," sambung Maureen sambil merangkul bahuku. Aku menanggapi dengan senyum sambil berjalan bersisian dengannya melintasi koridor kampus kami yang berhadapan dengan lapangan outdoor tempat anak-anak biasa bermain basket.

Mataku menelusur ke tengah lapangan dan menangkap sosok Steve dengan bola basket di tangannya. Bergerak ke kanan dan ke kiri, berusaha mengecoh lawannya.

Jantungku berdegub kencang. Kenapa dia masih semempesona itu? Kalau begini bagaimana caranya aku bisa melupakannya?

"Eh, Di, itu ada Steve, samperin yuk," ajak Maureen sambil menggamit tanganku.

"Err... ta--tapi di sana kan ada Azka juga. Kamu yakin? Nanti digangguin lagi loh sama Azka," elakku sambil menunjuk Azka yang juga tengah berada di tengah lapangan, bergabung dalam permainan basket dengan mahasiswa lain. Aku harus mencari alibi supaya Maureen tidak mengajakku menemui Steve bersamanya. Bisa-bisa hatiku kembali dibakar cemburu dan digelayuti ketidakrelaan kalau melihat kebersamaan mereka berdua.

"Cuek aja deh. Kan ada Steve. Aku yakin makhluk astral itu nggak berani macam-macam." Tamat sudah riwayatku.

Maureen berjalan dengan semangat mendahuluiku ke tengah lapangan. Ke tempat Steve sedang berbincang dengan teman-temannya yang lain di ujung lapangan. Sementara di tengah lapangan, tampak beberapa mahasiswa lain termasuk Azka sedang melakukan shooting secara bergantian ke ring dengan dipandu seorang coach. Sepertinya mereka sedang melakukan seleksi untuk dipilih sebagai anggota pemain inti.

"Reen, tungguin aku," teriakku pada Maureen yang sudah mulai menjauh dariku.

"Cepetan, Di." Ia berbalik dengan senyum di bibirnya. Langkahnya semakin dekat ke tengah lapangan.

"Reen, awas!" Sebuah bola basket bergerak dengan kecepatan yang sangat cepat setelah terpantul dari sisi ring dengan sangat keras. Bola itu melambung dan mengarah cepat ke arah kepala Maureen.

Maureen berbalik dengan mata melebar ketika melihat bola basket yang sudah berada dalam jarak yang sangat dekat dengan kepalanya.

Terlambat! Bola itu terlempar mengenai Maureen dengan sangat keras. Maureen terjatuh tersungkur tak sadarkan diri.

"Maureen!" teriakku menyadarkan pemain basket yang tengah berlatih. Semua mata menuju ke arahku yang sedang berjalan menghampiri Maureen yang tergeletak tak sadarkan diri di ujung lapangan.

Love in SilenceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang