Chapter Ten

22.1K 1.2K 7
                                    

"Di," panggil Maureen sambil merangkul bahuku.

Aku tersenyum tipis menanggapinya.

Setahun berlalu sejak aku putus dari Ivan. Semuanya berjalan lancar sekarang. Terlalu lancar. Aku tak pernah lagi bertemu dengan Steve. Hanya buket lavender yang selalu menghiasi mejaku selama sebulan setelah putusnya aku dari Ivan. Pengirimnya tetap sama. Steve. Satu yang mengganggu pikiranku. Untuk apa Steve berlaku manis seperti itu kalau sekarang, selama hampir setahun, ia menghilang dan tak menunjukkan batang hidungnya sama sekali.

Kabar terakhir yang kudengar, Steve tengah menjalani pelatihan intensif sebagai tim inti dari klub basket kampus kami. Mereka dikirim ke luar kota, entah dimana kotanya, yang jelas dia tengah berada di luar Jakarta sekarang. Semakin jauh dariku. Dan semakin jauh pula membawa hatiku.

Aku banyak belajar setahun ini. Bukan hanya pelajaran dari mata kuliah saja, tapi pelajaran tentang hidup. Aku belajar menjadi semakin dewasa sekarang setelah semua yang aku alami.

Que sera sera. Whatever will be will be. Jika sesuatu sudah ditakdirkan menjadi milikku, selamanya ia akan tetap menjadi milikku. Yang harus kulakukan hanya menyerahkan sepenuhnya ke tangan takdir. Semuanya. Termasuk hubunganku dengan Steve. Jika ia memang jodohku, maka selamanya ia akan ditakdirkan begitu.

"Kenapa, Reen?" tanyaku.

"Kamu liat di lapangan indoor deh, ada aksi seru. Katanya ada yang mau nembak cewek tuh. Romantis banget, pake acara nembak di public place segala. Azka aja nggak gitu," cibir Maureen di ujung kalimatnya.

Aku terkekeh mendengarnya.

Ya, Azka dan Maureen sudah berpacaran. Seminggu setelah kandasnya hubungannya dengan Steve, Azka menyatakan cinta pada Maureen dengan cara yang menurutku sangat romantis. Dan Maureen, sudah pasti menerimanya.

"Jadi, mau ditembak di public place juga, sunshine?" sela suara bass seorang pria yang tau-tau sudah berada di belakang kami dengan cengiran khasnya.

Wajah Maureen langsung memerah. Mungkin mengingat kronologis penembakan mereka dulu yang kuakui membuatku sangat iri.

"Jadi, rencananya mau ditembak ulang lagi, nih?" godaku pada Maureen.

"Iih, Dira! Makhluk astral! Apa-apaan sih? Mana mungkin acara nembak diulang dua kali. Dikira latihan shooting bola basket kali kalau gagal bisa diulang," gerutu Maureen yang disambut kekehanku dan Azka.

Bicara tentang basket, aku jadi ingat sesuatu.

"Ka, kamu kok nggak ikut basket lagi sih? Padahal dulu kamu hampir kepilih jadi anggota pemain inti, loh," tanyaku.

Memang, setelah kejadian pelemparan bola basket nyasar yang menimpa Maureen, Azka tidak pernah lagi berhubungan dengan hal berbau basket, padahal dulu dia salah satu putra kebanggaan kampus dalam ajang basket.

"Males aja," jawabnya tersenyum penuh arti.

"Dih, jawaban apaan gitu?" cibir Maureen.

"Jawaban cintaku padamu, sunshine," ia menggoda Maureen sambil merangkul bahu Maureen dengan sebelah tangannya.

"Gombal." Wajah Maureen merona sepenuhnya. Mungkin malu, mungkin tersentuh, entahlah.

"Aku nggak mau ikut basket lagi, soalnya kalau sampai aku kepilih jadi pemain inti, artinya aku harus latihan intensif di luar kota, dan meninggalkan matahariku untuk waktu yang cukup lama. Kaya Steve-mu itu, Di," aku merengut mendengar perkataan Azka. Kenapa Steve harus dibawa-bawa sih?

Menyadari ketidaksukaanku, Maureen menyikut perut Azka tajam.

"Jangan bahas tentang Steve di depan Dira," bisiknya namun masih mampu kudengar.

Love in SilenceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang