Chapter Seven

16.8K 1.1K 6
                                    

Note: Single asterix (*) menandakan pergantian PoV ke PoV orang ketiga / author dan triple asterix (***) kembali ke PoV Dira.

***

"Ah, nyebelin! Dosen Akuntansi Manajerial itu nyebelin banget. Mana kasih tugasnya seabrek lagi. Catatannya aja belum kusalin. Diktatku masih bolong-bolong nih," gerutu Maureen di samping tempat dudukku.

Aku tertawa pelan menertawai gerutuannya yang lucu itu. Belum lagi bibirnya yang mengerucut maju seperti seekor wood-pecker.

Insiden bola basket seminggu lalu sama sekali tidak ia bahas. Semuanya berlalu begitu saja seperti tidak pernah terjadi apapun. Tapi aku sering memperhatikan Maureen yang lebih sering menatap ke arah Azka sekarang. Entah ia menyadarinya atau tidak, tapi gelagatnya benar-benar tampak seperti seorang pengagum rahasia sekarang. Maureen juga lebih ceria dan lebih sering memasang senyum akhir-akhir ini.

"Nih. Kupinjamin diktatku buat kamu salin," kataku sambil mengulurkan diktat kuliahku.

Mata Maureen berbinar senang.

"Aah! Makasih Dira! Kamu emang best of the bestest friend deh." Ia menerima diktatku dengan sukacita. Aku terkekeh pelan melihat kelakuannya yang seperti anak kecil. Maureen memang seperti itu, tak pernah berubah dari jaman SMA, dan aku juga tak pernah berubah dari dulu. Masih seorang pecinta bisu yang pengecut.

Aku menatap ke arah tasku dan mulai memasukkan perlengkapan dan alat tulisku.

Sepertinya aku melupakan sesuatu yang sangat penting. Tapi apa?

*

Maureen membuka diktat kuliah Dira untuk dicatat. Ia sedang bersemangat untuk melengkapi diktatnya yang bolong-bolong. Dua minggu ke depan ia akan menjalani UTS, jadi ia harus berusaha semaksimal mungkin.

Ia membuka lembar demi lembar dan mulai mencatat ulang. Catatan Dira sangat rapi dan tulisannya pun sangat rapi dan mudah dimengerti. Dira selalu menuliskan setiap penjelasan dengan lengkap dengan tinta dengan warna-warna berbeda. Maureen heran, kapan Dira punya waktu untuk mengganti-ganti warna pulpen ketika mencatat penjelasan dosen yah?

Itu bukan hal yang penting.

Maureen membuka kembali lembar berikutnya sampai matanya tak sengaja menangkap selembar foto.

Ia mengerutkan kening sehingga kedua alisnya bertaut.

Mungkin ini foto Dira, mungkin ia lupa menyelipkannya di dalam diktatnya, batin Maureen.

Ia mengambil foto itu dan membaliknya. Matanya membulat sempurna melihat objek foto itu.

Selembar foto yang diambil dengan kamera polaroid. Sedikit buram, tapi Maureen masih dapat mengenali dengan baik sosok di foto ini walau ia tidak menoleh ke arah kamera. Steve.

Maureen menangkap baris kalimat di bagian bawah foto dan mulai membacanya dengan lirih.

"Dan aku selalu berharap kisah ini dapat menghilang seperti debur ombak di lautan. Aku tak sanggup lagi bertahan. Rasa ini membunuhku perlahan," bacanya pada baris kalimat di bawah foto Steve.

Apa artinya semua ini? Apa Dira menyukai Steve? Sejak kapan? Kenapa Maureen tidak tau?

Pertanyaan terus berkelebatan di otak cantiknya. Sampai Maureen mendapat satu jawaban yang logis setelahnya. Ia harus menemui Dira langsung untuk menanyakan masalah ini!

***

Sepertinya aku melupakan sesuatu dari kemarin. Dan aku yakin itu sesuatu yang penting. Tapi apa? Otakku benar-benar tumpul. Kurasa aku harus mulai rutin mengonsumsi minyak ikan cod seperti saran Mama untuk menambah asupan omega untuk otakku.

Aku mengetuk pelan permukaan meja kuliahku dengan ujung pulpenku. Aku merasa sangat bosan hari ini. Aku melirik ke arah bangku di sebelahku. Maureen belum datang. Tumben anak itu nggak datang cepat hari ini. Biasanya, dia selalu datang paling pagi, mungkin sekalian bekerja paruh waktu menemani Pak Amir, satpam kampus, membuka gerbang. Aku tertawa kecil atas pemikiran itu.

Sebuah foto tiba-tiba terulur di mejaku. Aku melirik sekilas foto itu. Steve!?

Aku yakin, wajahku pasti sudah memucat sekarang. Aku mengangkat kepalaku pelan menatap si pemberi foto. Maureen!

Matanya terlihat berkabut dengan pandangan yang tak dapat kuartikan. Kemampuan menganalisisku hilang terbawa keterkejutanku akan foto yang Maureen ulurkan.

"Jelaskan padaku," tagihnya langsung dengan nada datar.

Aku menelan ludah susah payah dan menunduk, melihat permukaan mejaku tanpa berani menatap wajah Maureen. Apa yang harus kulakukan sekarang!?

"Apa kamu menyukai Steve?"

"..."

"Jawab, Di!"

"Ya! Y--ya... aku--aku menyukai Steve." Akhirnya aku memutuskan mengaku. Mungkin sudah saatnya terbuka.

"Sejak kapan?" Aku menangkap kilas kesedihan di balik kilatan air mata yang membuat matanya berkaca-kaca.

"Sebelas tahun," jawabku sambil menunduk.

Aku yakin mata Maureen pasti sedang melebar sempurna sekarang.

"Sebelas tahun!? Ba--bagaimana mungkin? Bukankah kalian pertama kali bertemu ketika aku mengenalkan kalian satu sama lain dua tahun yang lalu?" Getar kebingungan terdengar jelas dari suaranya. Walau aku tak menatapnya langsung, tapi telingaku sangat peka mendeteksi getaran suara.

"Aku--aku udah ketemu sama Steve dari sebelas tahun yang lalu. Dia nolongin aku dulu dan aku langsung jatuh cinta sama dia. Ta--tapi aku nggak berani mengutarakan sama dia, jadi... jadi aku menjauh darinya dan hanya bisa memandanginya dari jauh. Sa--sampai akhirnya, aku tau kalau... kalau dia jadian sama kamu." Pandanganku mengabur dan mataku terasa sangat panas sekarang. Aku yakin sebentar lagi air mata pasti akan mengalir dari mataku.

Hening. Tak ada yang bersuara. Aku melirik Maureen dari ekor mataku. Ekspresi terkejut tak terelakkan dari wajah cantiknya.

"Kenapa..?" Lirihnya.

Aku mengernyit bingung tak mengerti.

"Kenapa kamu nggak bilang ke aku!?" Nada suaranya naik satu oktaf sekarang. Membuatku hanya mampu menunduk semakin dalam menahan air mata yang semakin merajalela.

"Kalau kamu bilang ke aku, setidaknya aku nggak perlu terus pacaran dengan Steve dan tanpa sadar menyakiti sahabatku sendiri! Kamu udah membuat aku menjadi orang jahat, tau nggak, Di!?" bentaknya.

Aku terdiam. Aku tau, cepat atau lambat ini pasti akan terjadi kalau Maureen mengetahui tentang perasaanku pada Steve. Aku nggak mau. Aku nggak mau hubungan persahabatan kami terluka hanya karena sebuah kata 'cinta'. Maka dari itu aku berusaha menekan perasaanku sedapat mungkin. Tapi apa yang dikatakan pepatah memang benar. Selihai apapun kamu menutupi bangkai, baunya pasti akan tercium juga.

"Maaf." Hanya itu yang mampu kukatakan.

"Aku kecewa sama kamu." Empat kata sederhana itu mampu menusukku bagai belati tajam. Sekesal-kesalnya seseorang padamu, jika sampai ia mengatakan empat patah kata keramat itu, itu artinya kesalahanmu sudah sangat fatal. Dan aku sadar akan hal itu. Sangat sadar.

Maureen bangkit berdiri, menyampirkan tasnya dan berbalik. Aku masih dapat meliriknya dari sudut mataku. Dan aku tak akan pernah melupakan gurat kekecewaan di matanya itu. Ia setengah berlari meninggalkanku sendirian di kelas.

Akhirnya hari ini tiba juga, Di.

Rahasia yang berusaha kututupi selama ini akhirnya terkuak. Aku tau akan begini jadinya. Maka dari awal aku sudah berusaha membunuh perasaan ini. Tapi kamu nggak bisa memilih kepada siapa kamu akan jatuh cinta, kan?

Ini semua sudah ada dalam prediksiku atas skenario terburuk yang mungkin terjadi. Tapi, sesiap apapun kamu atas sebuah kondisi, ketika hal itu bukan hal yang kamu harapkan, ketika ia terjadi tetap saja akan terasa sangat menyakitkan.

Love in SilenceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang