Chapter Nine

17K 1.1K 8
                                    

"Di samping aja," ucapku pada pria yang mengantarku.

Ia mengangguk dan memberhentikan laju mobilnya di sisi yang aku tunjuk tadi.

Aku melepas seat belt-ku, bersiap-siap turun dari mobilnya.

"Makasih, Van," ucapku.

"Anytime, Di," jawabnya sambil tersenyum.

Ya, aku memilih pulang dengan Ivan. Heran? Aku juga. Aku heran kenapa aku bisa mengambil keputusan untuk memilih Ivan.

Yang ada di pikiranku saat itu hanyalah aku butuh waktu sebelum berhadapan dengan Steve lagi setelah apa yang baru ia ungkapkan.

Aku dilemma. Ya.

Baru beberapa hari yang lalu aku memutuskan untuk menyerahkan Steve sepenuhnya pada Maureen, untuk mengalah secara sepenuhnya dalam kisah ini. Karena aku tau, bahwa aku hanya bayangan untuk mereka, Steve tak pernah melihatku selama sebelas tahun ini.

Ralat, bukan Steve yang tak pernah melihatku. Tapi aku yang tak pernah berani menampakkan wajah di hadapannya. Ivan salah. Aku bukan burung merak yang hanya menunjukkan pesonanya pada orang tertentu. Dan aku juga bukan Amethyst seperti yang pernah dituturkan Steve. Batu mulia itu terlalu berharga untuk disandingkan denganku.

Mungkin, penganalogian yang paling pantas untukku adalah burung Dodo. Burung bodoh yang bahkan tidak mengetahui cara terbang dan akhirnya punah dilibas oleh seleksi alam.

"Di." Ivan menahan pergelangan tanganku, membuatku menoleh lagi padanya.

"Aku senang kamu memilih untuk pulang bersamaku. Apa.. apa ini artinya juga aku punya kesempatan untuk bersanding denganmu?" Ivan menggaruk tengkuknya salah tingkah. Aku terdiam.

...Di, aku adalah salah satu orang beruntung yang menyadari dan melihat pesonamu di waktu yang tepat. Dan... bolehkah aku menjadi satu-satunya orang yang bisa menjamah pesonamu tanpa kamu harus kembali menutup kipasan ekormu?... tiba-tiba potongan ucapan Ivan tadi terngiang lagi di otakku.

Manakah yang harus kupilih? Ivan yang tulus mencintaiku dan melihatku dengan cara istimewa yang tak pernah dilihat orang lain, atau Steve yang selama sebelas tahun ini hanya mampu kucintai dalam diam?

"Di, jawaban atas pertanyaanku tadi... aku... aku sabar menunggu. Mau sampai kapanpun waktu yang dibutuhkan, aku akan menunggmu, Diandra Alexandra," ucapnya dengan binar tulus yang terpancar dari kedua bola mata hitamnya.

"Aku..."

"Nggak perlu menjawab sekarang, Di. Aku ngerti..."

"Aku mau! Aku mau... bersanding denganmu." Senyum Ivan terkembang lebar dengan binar bahagia di kedua mata hitamnya setelah mendengar jawabanku.

Kurasa ini adalah langkah yang seharusnya kuambil dari dulu. Past is in the past. Aku harus melangkah maju. Mungkin, Ivan adalah partner terbaik untukku melangkah maju menuju masa depan. Melupakan Steve dan memulai semua dari awal mungkin adalah pilihan yang bijak.

***

Aku melangkah gugup menuju kelas. Aku harus menemui Maureen sekarang. Dari kata-kata Steve di Ragunan kemarin, sepertinya Maureen sudah memaafkanku. Sepertinya.

Langkahku terhenti melihat sosok perempuan yang mengintip kecil ke arah kelas. Sosok perempuan berambut coklat ikal sepunggung. Sosok yang sangat kukenal. Maureen.

"Reen," tegurku dengan suara yang kutahu, bergetar.

Maureen berjengit kaget dan memutar tubuhnya kaku menghadapku. Matanya membelalak, persis seperti seorang pencuri yang tertangkap basah.

Love in SilenceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang