Chapter Four

17.2K 1.2K 10
                                    

Pagi yang kaku di kampus. Setelah kejadian di telepon semalam, aku sama sekali tidak punya muka untuk bertemu dan bertegur sapa dengan Maureen. Lagipula, aku tidak tau wajah apa lagi yang harus kutunjukkan ketika nanti bertemu dengannya. Jadi aku memilih menghindarinya.

Aku tau kalau Maureen sedih dan bingung dengan sikapku. Tapi aku benar-benar tidak tau sikap apa yang harus kutunjukkan saat berhadapan dengannya. Jadi aku memilih mengikuti naluri pengecutku dan menghindar darinya.

"Apa yang terjadi?" Suara seorang lelaki terdengar dari sisi kananku. Aku menoleh dan mendapati wajah serius Azka. Aku hanya menunduk, kembali menyibukkan diri dengan buku Manajemen Keuangan yang tengah kubaca.

"Bukan urusanmu," jawabku acuh tak acuh sambil pandanganku kufokuskan pada buku di tanganku. Walau sejujurnya tak ada satupun kata dari buku itu yang masuk ke otakku. Pikiranku sibuk berkelana pada kejadian seputar aku, Steve, dan Maureen. Bagaimana cara menanggapi mereka berdua dan langkah apa yang harus kuambil selanjutnya.

"Semua yang berhubungan dengan Maureen menjadi urusanku.

"Sebenarnya, ada apa dengan kamu dan Maureen? Dia terlihat sedih dan tidak fokus hari ini. Kamu juga seperti menghindarinya. Apa kamu cemburu dan akhirnya mulai memperjuangkan cintamu pada pria itu?" sambungnya lagi. Aku menoleh kesal padanya.

"Apapun yang terjadi antara aku dan hubunganku nggak ada hubungannya denganmu. Jadi berhenti bersikap kepo dengan memberondongku dengan pertanyaan. Oke?" Aku menjadi sangat sensitif belakangan ini.

"Aku hanya ingin menyarankanmu satu hal, Di. Jangan plin plan dalam mengambil keputusan. Ketika kamu memutuskan satu hal dan berganti dengan pilihan lain, perselisihan yang seharusnya dapat dihindari mungkin bisa terpancing. Persahabatan itu sangat berharga, Di. Kamu boleh mempertahankan cintamu, tapi persahabatanmu juga harus kamu pertahankan. Hanya satu kuncinya, jangan bersikap plin plan." Azka menepuk pelan sebelah bahuku.

"Aku berhenti bersikap kepo atas urusanmu. Tapi semua yang menyangkut Maureen menjadi urusanku. Aku pergi," pamit Azka, meninggalkanku yang masih termenung memikirkan isi kata-kata Azka.

Jangan bersikap plin plan.

Baru kusadari bahwa sikapku menjadi sangat plin plan sekarang. Detik lalu aku bilang aku akan merelakan Steve untuk Maureen. Dan sekarang, aku merasa kesal atas perhatian Steve kepada Maureen dan jelas-jelas merasa cemburu padanya. Ini bukan sikap yang seharusnya kulakukan.

Aku berjalan masuk ke dalam kelas. Menemukan sosok Maureen sedang duduk di sudut belakang ruang kelas dengan kepala ditelungkupkan ke lipatan lengannya.

Terlihat menyedihkan. Aku seperti sedang bercermin akan kemenyedihkannya diriku. Akan tetapi kami menyedihkan dalam cara yang berbeda. Maureen menyedihkan karena dia bingung tiba-tiba dibentak oleh sahabatnya dan dijauhi tanpa alasan yang jelas. Sedangkan aku, menyedihkan karena aku tak mampu menerima keadaan dan malah menatap dengan iri pada sahabatku sendiri.

Menghela napas gugup, aku mengendalikan diri dan mengumpulkan keberanian.

Perlahan, aku berjalan pelan ke arah tempat duduk Maureen dan memposisikan diri di hadapannya. Gugup, aku menyentuhkan telunjukku ke lengannya, mengakibatkan Maureen yang tersadar dan refleks mengangkat kepalanya menghadapku.

Matanya berbinar menatapku, tapi detik berikutnya binar itu terganti oleh kilau air mata. Hatiku terenyuh dan rasa bersalah semakin menggelayutiku. Aku memeluk Maureen cepat. Aku merasakan Maureen menegang, mungkin karena terkejut, dalam pelukanku. Tapi sesaat kemudian, ia meluruh dan balas memelukku erat. Ia terisak pelan. Walau aku tidak menitikkan air mata sedikitpun, tapi aku turut merasakan kesedihan yang sama. Bagaimanapun kami adalah sahabat yang selalu bersama selama tiga tahun ini. Kedekatan kami bahkan sudah melebihi saudari kandung.

"Hai," sapaku dengan jantung berdebar gugup.

Maureen tampak kesusahan menelan ludah, ia berdehem sejenak melancarkan tenggorokannya.

"Hai," sapanya dengan suara parau khas orang menangis. Hatiku semakin teriris mendengarnya.

Aku menunduk menatap jemariku yang tengah aku mainkan di atas pangkuanku.

"Maaf. Maaf Reen uda ngebentak kamu semalam. Aku lagi ngantuk banget dan kurang enak badan semalam," dalihku menyembunyikan alasan sebenarnya.

"Nggak, Di. Semua salahku, aku yang nggak toleran sama kamu. Nggak peduli kalau kamu lagi nggak enak badan. Aku egois. Maafin aku. Semua salahku."

Aku mengelus rambutnya pelan.

"Reen, semua salahku. Bukan salahmu."

"Nggak Di. Aku yang egois. Maaf."

"Gini aja, nggak ada yang salah di antara kita. Oke? Berhenti bilang maaf. Because in friendship there's no 'sorry'. Okay?" Aku mengeluarkan kelingking kananku.

"Pinky swear? That we won't say sorry anymore to each other," sambungku. Mata Maureen berkaca-kaca menatap kelingkingku. Seulas senyum terkembang di bibirnya.

"Pinky swear. There's only 'I forgive you, don't do it again'." Aku tersenyum mengiyakan.

Dan kami larut dalam paduan suara tawa yang saling bersahutan.

Indahnya persahabatan, jika tanpa diselingi dengan cinta dan cemburu.

Mungkin, sekali lagi aku ditampar oleh sebuah kenyataan. Steve milik Maureen, dan aku sama sekali tidak punya kesempatan.

Love in SilenceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang