9

3 2 0
                                    

"Hey, seru sekali rupanya. Cerita apasih?" Benar-benar ingin tau rupanya si Faras ini.

"Apasih, ini kan obrolan perempuan. O iya, sifatnya rahasia." Jelasku dengan gaya misterius.

"Iya." Sambil terkekeh kak Crystal meng'iya'kan saja ucapan ku.

"Terserah kau la Ras," ucapannya dijeda sebentar.

"Sekarang tinggal di rumah nenekmu aman, damai, sentosa kan? Gak kayak di rumah bu lampir jahat itu lagi?" Dia bertanya. Rupanya, dia khawatir denganku.

"Aman, damai, sentosa. Dia bukan bu lampir Faras." Jawabku. Pendek saja.

"Dia jahatnya ga ketulungan gitu masih bilang bukan bu lampir?" Tanyanya lagi dengan nada ketus. Mata tajam menatap ke arahku.

"Seenggaknya, lewat dia, ibu, aku bisa kayak sekarang, ketemu nenek, kak Crystal, Faras, Sisca, Sarah, ya, dan juga Hensel." Nada bicaraku lesu di akhir kata.

"Entah dimana dia sekarang, dimensi lain mungkin? Sudahlah jangan dipikirkan. Setidaknya dengan bertemu Hensel, si Gretel manis ini juga bisa main piano." Iya, aku mengerti, Faras menyemangatiku. Tak kubiarkan rasa sepi menggerogoti hati. Tak akan pernah kubiarkan.

▪▪▪
"TERIMAKASIH DAN HATI-HATI" Aku seperti tidak punya malu pada ibu-ibu komplek yang sedang berbincang-bincang sore ini, tadi aku diantar Faras, naik mobil, sekalian mengantar kak Crystal pulang juga katanya. Katanya sih begitu.

Senang sekali hari ini, sore ini, hatiku menghangat saat mengingat perbincangan seru tadi.

Aku bergegas membuka pagar, sudah kesorean sekali aku pulang, untung sudah izin pada nenek batinku.

Loh? Seingatku pagarnya sudah dikunci. Ini kenapa cuman selotan begini? Nenek sudah pulang dari luar kota?

Aku bergegas masuk. Rindu juga aku pada nenek.
Ku buka pintu utama dan berteriak "AKU PU--" Terhenti. Lebih tepatnya terpotong.

"Wah, wah, sudah pulang anak manis?"

"Rupanya kau benar-benar anak kesayangan nenek kau itu ya?"

"Eh ibu.." mengulurkan tangan pada yang lebih tua sudah biasa bagiku.
Terasa sekali sakitnya, saat uluran tangan tak terbalas begini.

"Iba ibu iba ibu saya BUKAN ibu kamu! Camkan itu." Aku meringis seraya menurunkan tangan ke samping badan. Menundukkan kepala.

"Iya, maaf." Itu saja yang dapat keluar dari mulutku.

"Pintar juga ya kamu ambil perhatian ibu mertua saya." Ucapnya.

"Jangan harap warisan jatuh ke tangan kamu anak manis." Lanjutnya.

"Saya tidak mengharapkan warisan..." entah aku semestinya memanggilnya apa, aku tak tau.

"Semua warisan akan jatuh kepada suami saya. Jangan ikut andil walau sepersen pun. Saya tidak sudi." Mulutnya komat kamit tidak jelas setelah menyelesaikan kalimatnya.

"Saya kesini hanya ingin memberi peringatan sama kamu. Kalau sampai melanggar, habis kamu di tangan saya. Anak angkat gak berguna." Sabar, sabar, kau harus bersyukur dengan ini Saras. Bersyukurlah. Setidaknya kamu sudah diberi kebahagiaan hidup, dan tidak merasa kesepian seorang diri, batinku.

Tidak Pernah KesepianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang