Part 1

41 6 0
                                    

"Tuan Dylan, selamat pulang! Ada yang bisa saya lakukan untukmu kali ini?"

Aku pulang seperti biasa pada jam 21.45 malam, dan selalu disambut hangat dengan replicant milikku.

Yah, pekerjaan ini memang melelahkan, aku seharusnya tidak memaksakan diriku. Tapi, mau bagaimana lagi. Ini adalah satu-satunya pekerjaan yang cocok denganku.

"Um, Irene, bisakah kau membuatkan aku kopi?" ucap diriku dengan nada yang letih.

"Baik!"

Aku berjalan letih dan mencoba menjangkau sofa nyaman yang berada di pojok ruangan apartemen ku, menghadap ke TV.

Apartemenku tidak begitu besar. Namun, masih terbilang lebih dari nyaman untuk ditinggali oleh dua orang.

Tetangga di jendela, pasangan di seberang jalan. Kehidupan yang begitu normal.

Begitu aku merebahkan kedua kakiku di sofa, kopi telah jadi. Irene, mengantarkan kopiku dengan sangat santun dan manis.

Ya, perilaku yang sangat kaku miliknya sudah wajar bagiku.

Aku meraih remot TV, dan menyalakannya seraya menyeruput kopi panas secara perlahan yang berada di tanganku.

Kopi yang aku minum, bukanlah hasil nabati asli. Melainkan hasil rekayasa lainnya. Sebuah biji hasil kloning, dan dicampur oleh zat kimia lainnya. Sayang sekali, sudah tidak ada lagi yang murni di dunia ini.

Irene terus menatapku dengan ekspresi yang sangat ceria dan datar. Tak ada hal yang lebih aneh dari ini.

Tapi, aku sudah terbiasa semenjak memilikinya.

"Selamat malam, berita kali ini, telah ditemukan sebuah eksistensi kehidupan di zona yang sudah dikarantina. Zona tersebut berada di Kota Cresmont yang kita ketahui bahwa itu sudah terbengkalai puluhan tahun lalu."

"Hmm?"

"Ini ditemukan ketika salah satu drone milik perusahaan Apparition melintas pada ketinggian 50 kaki di daerah tersebut. Menangkap sinyal dari esensi kehidupan kecil yang memusat di suatu daerah."

"Ilmuwan masih-"

Hujan tiba-tiba merintikkan dataran dengan sangat deras dan keras. Suara di TV-ku menjadi samar-samar karena bertabrakan dengan suara hujan tersebut.

Dari jendela terlihat petir menghancurkan langit menjadi bentuk jigsaw yang tidak teratur. Memang, ada badai yang mengumpul di utara.

Dan ketahuilah, hujan ini tak seindah apa yang orang lain dambakan. Dengan kata lain, ini adalah hujan asam.

Apabila terkena kontak dengan kulit terus menerus, akan menimbulkan iritasi yang memicu penyakit kulit ganas.

Ah, aku jadi kehilangan info tentang berita tadi. Aku telah mencoba untuk menaikki volume suara yang ada di TV-ku sampai maksimal. Namun, tetap saja lirih.

"Hujan sialan," pekikku. "Padahal tadi adalah berita yang sangat menarik untuk didengar."

Irene mendadak duduk di sampingku, ia menolehkan pandangannya lalu menatapku dengan lugu. Ia menunjuk jarinya dan mencoba menyentuh hidungku dengan lembut.

Sontak, akupun bertatapan wajah dengannya. Matanya yang begitu bulat dan besar, bulu matanya yang lentik. Proporsi hidungnya begitu sempurna dan bibirnya yang mungil berwarna merah muda.

Ternyata aku memiliki selera kecantikan yang tinggi dalam memilih seorang Replicant.

"Apa?"

"Kau terlihat kesal," tuturnya. Ia terus memandang manis ke arah ku, bak seekor hewan peliharan menatap manja terhadap majikannya.

Tidak aneh. Pada dasarnya, memang ia bisa disebut peliharaan, selama aku menjadi pemiliknya.

"Memang. Aku kesal. Setiap manusia bisa merasa kesal. Mereka kesal karena memiliki emosi." Aku menyeringainya dengan sinis, "dan, apa yang kau ketahui dengan emosi? Tidak ada, 'kan?"

Bola matanya semakin melebar, wajahnya berubah terkagum. "Kelak suatu saat nanti aku akan mengerti apa emosi itu!"

Wajahnya kemudian berseri dan tersenyum lebar sehingga kedua matanya hampir tertutup rapat.

Mungkin beberapa kesalahan terminal terjadi pada sistemnya. Aku belum pernah mendengar ia mengatakan hal tersebut.

Lagipula, apakah hal itu memang mungkin? Apa terjadi pembaharuan sistem bagi seluruh replicant yang memungkinkan bagi mereka untuk memiliki empati?

Tetapi mengapa pusat pemerintah belum memberi tahu saya tentang hal ini.

Ah, bodohnya diriku. Ia itu bukan komputer, bagaimana bisa sebuah sistem ditanamkan di dalam dirinya, sehingga terjadi pembaharuan secara otomatis.

Secara harfiah, replicant adalah manusia. Namun, tak pernah dilahirkan, melainkan diciptakan.

"Irene, apa kau menyimak berita yang tadi?" tanyaku.

"Tentu, jika kau menyimak, maka begitupula diriku."

Wajahku mengeras, "apakah hal itu mungkin? Mengembalikan bumi kita seperti dahulu kala?"

Aku tak yakin kenapa aku mengatakan hal semacam itu kepadanya. Dia adalah replicant. Mungkinkah ia bisa mencerna perkataanku tadi?

Tentu saja, ia mengerti. Demi Tuhan, Dylan. Ia memiliki otak. Kau baru saja mendeskripsikan dirinya seolah-olah ia adalah batu.

"Segalanya akan terjadi selama kau meyakininya," balasnya dengan sangat yakin. Ia kemudian mengenggam tangan kanan ku, mengusapnya dengan halus. Berulang-ulang. "Kau percaya dengan keajaiban, Tuan Dylan?"

Dahiku menegas, aku menjadi sedikit bingung. "Tidak."

"Kenapa?"

"Di dunia yang sekarang ini, percaya dengan keajaiban?" tegasku, "tidak ada yang namanya keajaiban. Kita masih hidup karena kita bergantung dengan sains. Tidak ada yang terjadi tanpa penjelasan yang tepat. Ada sebab dan akibat. Sederhana."

"Kau belum pernah melihat sebuah keajaiban." Wajahnya terukir sangat serius.

"Memangnya kau pernah?" Aku tertawa sinis sehabis mendengarkan omong kosong miliknya. Oh, Irene, mungkin ia telah meminum sesuatu yang membuat ia merasa aneh tak karuan.

"Aku pernah."

Lupakan, ia memang melantur.

"Irene, kau telah mengantuk?" tanyaku.

Ia menggelengkan kepalanya, "belum. Aku masih bisa menemanimu sampai kau terlelap dalam tidur."

"Aku juga bisa tidur bersama di sampingmu dan memberikan pelukan hangat kepadamu di antara malam yang begitu kelam dan dingin ini."

"Ew, Irene. Tidak, itu menjijikan."

"Kenapa?"

Aku menghela nafasku, "Lupakan. Kau boleh tidur seranjang bersamaku," gumamku. "Tapi, satu hal. Tidak ada peluk-pelukan."

Ia tersenyum simpul dan mengatakan, "Baiklah!"

Irene benar-benar tertidur di sampingku. Ini baru pertama kalinya kami melakukan hal ini.

Biasanya ia selalu tertidur di sofa depan TV dengan posisi tidur yang sangat aneh. Memang, semuanya aneh di dunia saat ini.

Ia tertidur lebih awal dari diriku, sedangkan kedua mataku masih terbuka dan belum terpejam.

Hembusan nafas dari hidungnya mungkin sedikit menganggu, tapi itu menunjukkan bahwa ia juga sama seperti manusia layaknya diriku. Hidup dan memiliki nyawa.

Tapi, tak memiliki jiwa.

Rasa kantuk yang tak tertahankan membuatku ingin menutup kedua kelopak mataku dan terlelap dalam mimpi.

Malam telah berlarut. Rembulan telah sirna, sekarang fajar yang menggantikan dan bangkit untuk menyinari pagi ini dengan hangat.

EquinoxTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang