Part 10

2.3K 265 13
                                    

"Hallo, Dit. Aku masih harus ngantar muridku yang di kantor polisi. Jadi tolong sampaikan sama Ibu ya." Seno menghubungi adiknya agar memberitahu ibu mereka kalau masih mengurus anak-anak didiknya yang bermasalah.

Setelah itu dia menoleh pada Dara yang masih membisu dengan wajah pucat.

"Kamu lihat, hasil taruhan dan gaya-gayaan kamu ini apa?" tanya Seno dengan tatapan tajam.

"Semua karena Bapak nolak saya," jawab Dara kesal.

"Itulah, alasan saya nggak bisa nerima kamu, Dara. Kamu terlalu anak-anak. Ada banyak anak SMA yang bersikap dewasa dan bersiap menentukan masa depan mereka. Sedangkan kamu? Malah terpengaruh pergaulan yang buruk." Seno seperti ada kesempatan mengeluarkan unek-uneknya pada gadis yang mengaku menyukainya itu.

"Ya sudah, toh Dara juga udah nggak maksa untuk jadi pacara Bapak. Nggak usah juga dibahas terus."

"Emang kamu nggak sadar merepotkan banyak orang?" Seno meninggi.

Dara memandang lurus dengan mata yang basah, lalu menyeka pipi dan matanya dengan tangan.

"Ayo buruan naik," ujar Seno lagi saat melihat airmata Dara makin deras karena kata-katanya.

"Nggak usah, Pak. Dara sudah banyak merepotkan Bapak," jawabnya dengan suara bergetar. Dia berniat berlalu untuk mengikuti mobil yang ditumpangi Vivi yang mulai melewatinya keluar dari parkiran. Hendak ikut dengan mobil temannya.

Namun tangan Seno menahan tangannya, menariknya ke arah motor yang tak jauh dari tempat mereka berdiri. Menggenggam pergelangan tangan Dara dengan kuat sambil membuka kunci motor.

"Saya akan antar kamu supaya ayah kamu nggak syok, saya akan coba jelaskan kronologinya." Seno melemah dan menatap Dara yang masih terisak. "Ayo naik," pintanya lebih lembut.

Dia duduk lebih dulu di jok, tapi Dara masih mematung memandang ke arah mobil teman-temannya yang mulai keluar dari kantor polisi. Tak ada pilihan lain, selain duduk di belakang pria yang sudah menolak cintanya.

Seno menyerahkan helm untuk dipakai.

"Nanti ditilang polisi lho, kita kan masih di kantor polisi," canda Seno berharap gadis di belakangnya tidak menangis lagi.

Dara menurut, meski dia sempat mengendus helm tersebut.

Wangi parfum Bu Rara, batinnya dengan cemberut.

Jauh di lubuk hatinya, dia ingin membuang helm itu jauh-jauh karena menyadari selalu dipakai rivalnya yang jelas telah dipilih Seno.

***

Motor merah itu terus menerobos dinginnya malam ibu kota. Melewati mobil yang ditumpangi teman-temannya Dara. Bahkan sempat berhenti karena gadis itu kedinginan, lalu Seno menyerahkan jaketnya untuk dipakai oleh Dara.

Momen itu diabadikan oleh kamera Vivi dengan senyuman jahilnya. Bukan hanya adengan dipakaikan jaket di pinggir jalan, juga adegan menggenggam tangan waktu ada di parkiran kantor polisi.

Senyum gadis yang tak pernah bahagia di rumah itu terlihat mengembang. Sebuah kejahilan telah dia rencanakan. Melupakan kesialannya malam ini, yang penting ada keseruan lainnya yang akan dia saksikan.

Sementara itu Dara dan Seno mulai tiba di rumah orangtua sang Gadis. Dengan sedikit gugup Dara mengetuk pintu rumahnya. Bagaimana pun, orang di rumahnya pasti tengah terlelap karena ini jam satu malam.

Namun tak disangka, kakak laki-lakinya yang membuka karena baru saja tiba.

"Katanya kamu di kantor polisi?" tanyanya langsung saat melihat Dara diantar oleh seorang pria. "Ini?" tanyanya serius.

Need A Wife (Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang