BAB 10

6.5K 246 0
                                    

Arum menatap penampilannya, dress hitam menjadi pilihannya saat ini. Acara formal seperti ini, ia harus berpenampilan rapi. Arum duduk disalah satu kursi, sementara Emir. Meninggalkanya begitu saja, Arum melirik jam yang melingkar ditangannya.

Arum tahu, ia bukan siapa-siapa disini. Tidak seorangpun ia kenal, Arum mengeluarkan ponsel miliknya dari tas. Arum menatap layar ponselnya dan mulai menyibukkan diri.

"Saya tidak menyangka kamu berada disini".

Arum lalu mengalihkan tatapanya kearah sumber suara. Arum menatap wajah tampan itu lagi, tatapannya tajam dan rahang kokohnya ditutupi bulu-bulu halus yang rapi. Arum memasukan kembali ponsel miliknya didalam tas.

"Saya tadi diajak Emir" ucap Arum.

"Ya, saya sudah menyangka bahwa Emir mengajak kamu kesini".

Arum menegakkan tubuhnya, dan Arum berjalan meninggalkan Aslan. Sementara Aslan berjalan mengikuti Arum, meraih tangan lembut itu. Otomatis Arum menoleh kearahnya, tepat ditengah keramaian tamu di ballroom.

"Kamu mau kemana?" Tanya Aslan.

"Mau keluar, sepertinya saya tidak pantas berada di ballroom ini".

Aslan mengerutkan dahi, ia melangkah mendekat. Ia menatap penampilan Arum, wajah itu cantik, serta pakaiannya formal. Tidak pantas seperti apa yang dimaksud wanita itu. "Kamu pantas bersama saya disini" ucap Aslan.

Aslan menarik tangan Arum, ia menarik pinggang ramping itu mendekat. Aslan lalu membawa Arum, mengelilingi semua tamu-tamunya. Arum tidak percaya apa yang dilakukan Aslan kepadanya, ia dengan supel memperkenalkan kepada rekan-rekan kerjanya.

Setelah berkenalan beberapa menit yang lalu. Arum dan Aslan berdiri di dekat meja prasmanan, Arum menatap lampu-lampu plafon yang menerangi seluruh ruangan. Arum kembali menatap Aslan.

"Mereka semua rekan-rekan saya".

"Rekan-rekam kamu banyak, dan saya pikir semua hanya palsu" ucap Arum, ia menatap Aslan.

"Ya saya tahu. Setidaknya jika palsu, saya memerlukan mereka untuk menjalani bisnis ini".

"Dunia bisnis memang penuh persaingan" dengus Arum.

"Tidak hanya persaingan tapi kejam" ucap Aslan.

Aslan kembali menatap Arum, tubuh Aslan mendekat dan wajahnya berada disisi lehernya, ia tersenyum penuh arti, dan berbisik "Saya sudah tahu siapa kamu sebenarnya" ucap Aslan. Wajah Aslan menjauh, dan ia menatap Arum kembali.

Arum hanya diam, ia melepaskan tangan Aslan dari pinggangnya, "Apa yang kamu ketahui tentang saya?".

Aslan mengelus wajah Arum dengan jemarinya, "Kamu publik figure di negara asal kamu. Kamu pernah bermain film, dan drama".

Arum tersenyum, dan ia membalas tatapan Aslan, "ya, itu dulu, Sekarang saya hanya wanita biasa".

"Tapi saya tidak merasa bahwa kamu wanita biasa, kamu terlihat istimewa".

Arum tertawa, "istimewa? Apa yang membuat saya istimewa? Saya hanya asisten rumah tangga".

Aslan lalu meraih gelas yang dibawa waitress, yang berjalan membawa trey, Aslan lalu menyesapnya, ia kembali menatap Arum. "Kamu penuh percaya diri, cara kamu berbicara terlihat elegant".

"Mungkin, saya masih terbawa, ketika saya berada di Indonesia. Saya memang didik seperti ini oleh manager saya. Walaupun saya tidak mengenyam pendidikan tinggi, tapi setidaknya saya perlu belajar agar tetap terlihat anggun di depan umum".

"Bukankah diluar sana, banyak orang berlomba-lomba untuk menjadi seperti kamu. Kamu kenapa keluar dari zona itu? Apa karena skandal kamu?".

"Jadi kamu tahu, semua tentang saya?".

"Tentu saja, saya mencari tahu semua tentang kamu?".

"Wow, kamu super sekali. Kamu seperti fans fanatik saya".

"Tidak, saya hanya mencari tahu siapa kamu. Itu saja, dan ternyata kamu seorang artis".

Arum lalu berjalan kearah kursi, ia lalu duduk diikuti oleh Aslan. Arum lalu mengeluarkan ponselnya kembali, ia lalu mencari kontak Emir. Sungguh ia tidak enak berada di dekat Aslan. Masalahnya banyak sekali beberapa pandangan mata, tidak suka kepadanya.

"Kamu tidak ingin mengetahui siapa saya?" Tanya Aslan, karena baru kali ini wanita tidak berniat untuk mengetahui siapa dirinya.

Arum mengerutkan dahi, "untuk apa saya tahu tentang kamu?".

Aslan tertawa, oh tidak !. Kenapa Arum bertanya seperti itu.

"Agar kamu mengetahui siapa saya sebenarnya?".

"Bukankah, sudah terlihat kamu adalah orang yang penuh kuasa disini. Lihat saja beberapa pasang mata, di ballroom ini, tidak terlihat suka kepada saya ketika kamu berada di dekat saya" Arum mengibas rambutnya.

"Biarkan saja mereka, nanti kamu akan terbiasa".

"Saya sudah terbiasa dengan haters, jadi santai saja".

***

Sementara disudut ruangan, Emir memperhatikan Arum. Entahlah ada perasaan tidak suka, ketika Arum dan Aslan berbicara berdua seperti itu. Sepertinya ia ingin menarik Arum, kesisinya. Sudah beberapa menit ia memperhatikan Arum, ia mencoba menahan diri, agar dendam sang adik terealisasikan. Tapi baru beberapa menit saja, hatinya mulai panas. Emir sudah tidak bisa menahan diri lagi. Emir meletakkan gelas yang dipegangnya. Ia menghampiri Arum, ia tidak ingin berlama-lama menatap kebersamaan itu.

Arum tersenyum, ia menatap Emir dari kejauhan, berjalan mendekat kearahnya. Arum berdiri dan kembali ke sisi Emir.

"Kamu kemana saja" ucap Arum. Sungguh ia lebih nyaman bersama Emir dari pada Aslan, hatinya tidak bisa dibohongi lagi.

Emir memegang jemari lembut Arum, ia menatap wajah Arum, "maaf, saya meninggalkan kamu, mari kita pulang"

"Iya" ucap Arum tersenyum.

Emir menarik tangan Arum, meninggalkan Aslan.

Aslan hanya bisa menatap kedua insan itu dari kejauhan. Aslan lalu berdiri dan berjalan meninggalkan pandangannya. Tanpa ia sadari tubuhnya menghantam sebuah tumpuan. Aslan menghentikan langkahnya, dan ia menatap apa yang terjadi.

Sedetik kemudian, terdengar pecahan kaca, di lantai. Baju yang dikenakannya basah dan terasa lengket di kulitnya.

"Maaf, maaf. Saya sungguh minta maaf".

Aslan menatap wanita berjas hitam, menunduk meminta maaf kepadanya. Aslan mengibas jas yang dikenakannya. Ia menatap name tag itu "Mia", ia pastikan akan melaporkan wanita itu kepada sang manager hotel, agar memecatnya.

Aslan membuka jasnya begitu saja, "Cuci itu sampai bersih, jika tidak saya, akan melaporkan kamu ke manager kamu" ucap Aslan, dan ia lalu mengeluarkan kartu nama itu dan ia melemparkan didekat jasnya. Aslan pergi meninggalkan ruangan.

Semua mata menatap wanita itu penuh prihatin.

"Sial !" Umpatnya, dan lalu memunguti jas dan kartu nama yang tergeletak di lantai.

***

TERPIKAT CINTA MAFIA (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang