BAB 30

5.1K 176 2
                                    

Hari ini adalah hari bersejarah bagi Emir. Hatinya sudah tidak sabar untuk menikahi Arum. Emir melirik jam melingkar ditangan kanannya. Ia sudah menunggu Arum, di depan kamarnya. Emir menyandarkan tubuhnya didinding, sekali lagi melirik jam yang melingkar ditangannya menunjukkan pukul 16.07 . Semenit kamudian pintu itu terbuka. Emir terdiam sesaat, ia terpana apa yang dilihatnya.

Arum mengenakan jas putih, pakaiannya sangat formal. Rambutnya dibiarkan terurai. Wajahnya masih sama, tidak ada cela sedikitpun di wajah cantiknya. Arum membalas tatapanya, Emir lalu meraih jemari Arum.

"Kamu sudah siap?" Ucap Emir, dikecupnya puncak kepala Arum.

"Iya"

Arum menarik nafas, ia menatap Emir. Emir menarik tangannya menuju pintu utama. Emir menggenggam tangannya begitu erat. Emir lalu membuka pintu mobil untuknya.

Semenit kemudian, Emir meninggalkan halaman rumahnya. Arum menatap Emir, yang masih fokus dengan kemudinya.

"Apa kamu masih terasa pusing dan mual?".

"Tidak, sepertinya sudah bisa diajak kompromi".

"Sepertinya, dia tahu bahwa hari ini adalah hari bersejarah kita" ucap Emir.

Emir meraih jemari Arum kembali, "semua sudah menunggu kita" ucap Emir.

"Iya".

"Sebentar lagi, kamu akan menjadi ibu dari anak-anak saya" ucap Emir.

"Kamu yakin, saya bisa menjadi ibu dari anak-anak kamu?".

Emir tersenyum, "tentu saja, inilah yang saya inginkan".

Arum menarik nafas, "bukankah impian kamu, Helenalah menjadi ibu dari anak-anak kamu".

"Ya, itu dulu. Bisakah kamu tidak membahas Helena".

"Jika saya tidak hamil seperti ini, apakah kamu masih ingin menikahi saya?".

"Ya, tentu saja. Kamu memang ditakdirkan untuk saya".

Emir kembali fokus dengan setir yang dipegangnya. Emir melajukan mobilnya, ia sebenarnya sudah tidak sabar untuk memiliki Arum. Emir melirik Arum kembali, wanita itu sedang bersandar, menatap kearah jendela. Emir memegang perut rata Arum.

"Saya tidak sabar menantinya".

Arum hanya tersenyum mendengar kata-kata Emir yang menenangkan.

"Ini merupakan sebagian kecil keajaiban, saya akan menjadi seorang ayah".

Emir bahagia, atas pernyataanya. Emir menatap Arum sadar, ternyata sabuk pengaman itu belum terpasang di tubuh Arum.

"Kamu tidak memasang sabuk pengaman?" Tanya Emir.

Arum mengerutkan dahi, "Ah ya, Saya lupa memasangnya" ucap Arum, ia lalu meraih sabuk pengaman itu.

Emir lalu kembali fokus dengan setir yang dipegangnya. Seketika dua mobil sedan melaju, menyelip disatu sisi mobilnya. Serine polisi terdengar dari kejauhan, sepertinya adegan kejar-kejaran terjadi dijalan antara polisi dan mobil sedan dihadapannya itu.

"Emir !" Jerit Arum.

Sialnya mobil sedan itu memutar dan menabrak mobil dihadapannya. Emir membanting setir, dan sedetik kemudian terjadi tabrakan beruntun. Emir mengerem mobilnya, dan mobilnya membentur salah satu mobil di depannya. Semua terjadi begitu cepat, seketika Emir lalu menatap Arum.

Emir dengan cepat melepas sabuk pengaman yang terpasang ditubuhnya. Ia tidak percaya apa yang dilihatnya. Emir panik, menatap Arum. Arum sudah tidak sadarkan diri, dengan posisi menghantam dasbor. Disudut keningnya mengeluarkan cairan merah, yang ia yakini itu adalah darah.

"Arum, Arum, Arum" Emir panik.

"Arum, sadarlah sayang" Emir samakin panik. Ia memegang kepala Arum, diusapnya wajah itu.

"Sadarlah sayang" Emir dengan cepat membuka pintu mobilnya.

"Ambulans, tolong !" Teriak Emir.

Emir lalu dengan cepat membuka pintu mobil disebelah. Emir lalu meraih tubuh Arum. Emir semakin panik, ia membawa Arum kesalah satu mobil ambulans yang sudah berdatangan.

Sepanjang perjalanan Emir, mengusap wajah Arum. "Arum, Arum, sadarlah".

Emir menatap wajah cantik itu masih tidak bereaksi apa-apa. Mata itu masih terpejam, tubuhnya tidak bereaksi apa-apa. Emir menggenggam erat tangan Arum. Emir belum siap untuk kehilangan Arum. Sungguh hatinya begitu sakit melihat Arum seperti ini. Lebih baik ia berada di posisi Arum saat ini. Biarkan ia saja yang terluka, kenapa harus Arum. Arum, oh Tuhan Arum, Emir semakin panik.

Ambulans berhenti di salah satu rumah sakit, dan lalu di lari kan ke ruang UGD. Para dokter dan perawat berdatangan, ia tidak hanya sendiri, masih banyak korban lain yang berjatuhan.

Emir berlari mengikuti Arum, yang kini dibawa ke ruangan. Perawat dan dokter mencegahnya masuk kedalam. Emir hanya bisa menunggu diluar. Emir semakin panik, ia belum siap melihat Arum terluka seperti ini. Kenapa harus Arum lah yang menjadi korban itu.

Air mata Emir jatuh dengan sendirinya. Hati dan perasaanya tidak bisa ia bendung lagi. Ia tidak siap kehilangan Arum. Jika ingin tersakiti, cukup dirinyalah yang sakit, asal jangan Arum. Kini di tubuh Arum ada dua nyawa yang mesti ia selamatkan.

Emir mengusap Air matanya dengan punggung tangannya, ia hanya bisa menatap Arum dari kaca estalase itu. Para dokter dan perawat sepertinya menangani Arum cukup serius. Emir tidak habis pikir, kanapa mesti dirinya yang tidak terluka. Tidak ada satupun ditubuhnya terluka, kenapa harus dia yang terselamatkan.

Beberapa menit kemudian, dokter itu keluar dari ruangan. Emir lalu menegakkan tubuhnya menatap Dokter berkacama itu. Dokter itu terlihat serius menatap Emir.

"Bagaimana keadaannya?" Tanya Emir.

"Anda siapanya?".

"Saya calom suaminya. Bagaimana keadaanya dok?".

Dokter itu diam sesaat, "saat ini saya masih berusaha menyelamatkan dia dan anak yang dikandungnya. Karena korban itu mengalami benturan hebat".

Rahang Emir mengeras, ia meraih kerah baju dokter itu, "tolong selamatkan keduanya".

"Ya, saya akan berusaha menyelamatkannya. Itu sudah tugas kami. Tolong jauhi tangan anda".

Emir lalu melepaskan tangannya, "tolong selamatkan keduanya, saya mohon dengan anda" baru kali ini Emir, memohon kepada seseorang.

"Iya, kami akan berusaha yang terbaik" ucap dokter itu, lalu masuk kembali.

Emir menatap kembali Arum dari balik ruangan kaca itu. Emir kembali duduk di kursi tunggu. "Arum, Arum, saya tidak ingin kehilangan kamu dan anak kita".

***

TERPIKAT CINTA MAFIA (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang