BAB 5

8.4K 313 0
                                    


"Kalian sudah makan?" Tanya Sarah.

Emir menyandarkan punggungnya disisi sofa, ia melirik Arum. "Belum, saya hanya mencicipi brownies tadi pagi".

Arum lalu menoleh dengan pernyataan Emir, "Saya tadi menyiapkan sarapan buat kamu. Apakah kamu tidak memakannya" timpal Arum.

"Kamu tadi ingin buru-buru kesini, jadi saya tidak sempat memakannya".

"Ya, ampun. Kamu tidak memakannya? Tadi saya membuatkan sandwich tuna, dan teh hangat untuk kamu".

Sarah tertawa melihat Emir dan Arum berdebat hanya karena sarapan pagi. "Kalian seperti pengantin, yang baru menikah" gumam bibi Sarah.

Emir tertawa mendengar gumaman bibi Sarah, "Sepertinya begitu".

"Kalian sangat serasi, kenapa kamu tidak mencoba mendekatinya".

Emir melipat tangannya di dada, ia kembali menatap Arum. Arum sepertinya bingung atas percakapan dia dan bibi Sarah. "Dia hanya asisten saya, bibi Sarah".

"Dia tidak terlihat sebagai asisten kamu".

Emir mengedikkan bahu, lalu berdiri melangkahkan kakinya menuju meja makan. Emir menatap hidangan tersedia di atas meja. Ia sudah lama sekali tidak mencicipi masakan bibi Sarah. Emir lalu duduk diikuti oleh Arum. Arum tahu apa yang ia lakukan.

Arum duduk disamping Emir, dan menyiapkan makanan untuk Emir. Arum mengambil beberapa daging yang telah di racik entahlah ia tidak tahu, jenis makanan itu. Seperti daging panggang dengan sedikit bumbu, sejenis olahan timur tengah. Arum kembali menatap nasi, ia tahu itu adalah nasi kebuli.

"Kamu mau nasi? Mengingat kamu tidak terlalu suka nasi" tanya Arum menghentikan aktivitasnya.

"Sedikit saja nasinya, saya pasti memakannya".

Arum mengambilkan sedikit dan beberapa daging untuk Emir. Emir menatap hidangan tersedia dihadapannya. Arum sepertinya sudah tahu porsi makannya seperti apa, wanita itu pintar dalam mengingat. Emir makan dalam diam, sementara Bibi Sarah tersenyum menatapnya.

***

Setelah selesai Arum dan Emir pamit untuk pulang. Didalam mobil kembali hening hanya hembusan nafas terdengar.

"Boleh tanya sesuatu?" Tanya Arum.

"Tanya apa" ucap Emir, masih fokus dengan setir mobilnya.

"Kamu berasal dari negara mana? Saya tidak mengerti apa yang bibi Sarah dan kamu bicarakan".

"Turki, tapi kami sudah menetap di London, Kenapa?".

"Begitu ternyata, saya baru saja mendengar bahasa itu" Arum mengangguk.

Kembali hening, Emir tidak menjawab pernyataan Arum. Emir melirik Arum, "Saya akan mengajak kamu ke acara pernikahan Zaenal".

"Saya?" Arum tidak percaya.

"Iya, kenapa?".

"Saya hanya asisten kamu, tidak sepantasnya saya ikut bersama majikan saya ke acara seperti itu".

"Sebentar saja, kamu bisa berpura-pura menjadi teman saya disana. Itu saja, lagian saya tidak terlalu mengenal mereka, setidaknya ada kamu disana. Saya tidak terlihat canggung".

"Bukankah kamu bisa mengajak kekasih kamu?".

"Dia tidak ada disini, dia ada di Istanbul".

"Apakah bisa?".

Arum kembali berpikir, diliriknya Emir yang sedang menyetir mobil.

"Oke".

Emir tersenyum, "terima kasih".

Arum menarik nafas, "Bisakah kita berhenti di supermarket didepan sana, sepertinya bahan-bahan makan sudah berkurang".

"Iya".

***

Arum menepati janjinya, ia benar-benar bersiap-siap untuk pergi ke undangan Zaenal. Emir menatap penampilan Arum, Arum mengenakan dress biru. Dress itu sangat pas ditubuhnya, Emir tidak tahu, bahwa Arum memiliki pakaian yang kelihatan tidak murah dimatanya. Arum hanya asisten rumah tangga, kenapa ia bisa memiliki pakaian yang terlihat fashionable berkelas seperti itu. Emir tadi sempat ingin menawarkan beberapa pakaian di butik, tapi ia mengurungkan niatnya. Mengingat Arum memiliki beberapa pakaian cukup pantas untuk diajak keluar. Selera fashionnya tidak diragukan lagi. Emir tersenyum dan ia berjalan mendekati Arum.

"Kamu sudah siap?".

"Iya" ucap Arum. Ia menatap Emir, kemeja hitam dipadukan dengan jas warna senada, sangat pas ditubuhnya. Arum sempat berpikir, bahwa Emir tidak memiliki baju berwarna lain selain abu-abu dan hitam.

Emir lalu menjalankan mesin mobilnya dan meninggalkan area rumahnya.

"Apakah kamu tidak memiliki ponsel?" Tanya Emir.

"Ada masih didalam koper, tapi saya tidak memiliki kartu. Lagian saya tidak kemana-mana, untuk apa saya menggunakannya".

Emir mengerutkan dahi, "Untuk menghubungi saya, jika terjadi apa-apa. Nanti saya akan membelikan kartu untuk kamu".

"Terima kasih, tapi bukankah bisa menggunakan interkom dirumah, sama saja menurut saya".

Emir menarik nafas, ia tidak menjawab pernyataan Arum. Interkom dan ponsel jelas saja berbeda, memang sih fungsinya sama untuk bisa menghubungi orang. Tapi entahlah, ia hanya perlu Arum memiliki ponsel pribadi.

Akhirnya ia tiba disebuah hotel, Arum dan Emir melangkahkan kakinya menuju lobby. Arum sudah sering menghadiri acara-acara seperti ini, bahkan di red karpet. Arum berjalan tenang, untung saja ia membawa stellito hitam miliknya. Arum mensejajarkan langkahnya, ia sudah terbiasa menjadi pusat perhatian seperti ini. Emir menarik pinggangnya mendekat, Arum hanya bisa menatap Emir.

"Jangan jauh-jauh dari saya" gumam Emir, sambil berbisik tepat ditelinga Arum.

Arum tertawa, ia mungkin sudah terbawa suasana tadi, hingga melupakan Emir disampingnya. "Iya".

Suasana ballroom sudah ramai dikunjungi para tamu. Menurut Arum suasana pernikahan terlihat sederhana, tidak seperti suasana pernikahan yang ada di Indonesia yang megah dan wah. Disini dekor sederhana yang simple dan cantik, dan tamu undangan tidak begitu banyak. Suara musik yang khas, para host dan penyanyi serta crew musik sudah mengisi panggung. Arum menatap para tamu undangan satu persatu.

Arum menatap pengantin wanita mengenakan gaun pengantin berwarna putih, serta pengantin pria sepertinya terlihat bahagia dengan texedo hitamnya. Arum menatap,Peserta tari yang paling yang paling ujung mengibar-ibarkan sapu tangan, tarian berkelompok itu dinamakan halay. Beragam lagi diputar silih berganti dan perserta taripun berputar bergantian. Arum baru kali ini melihat pernikahan seperti ini.

"Emir...!" Ucap seorang laki-laki lalu mendekat kearahnya.

"Hey, Aslan" ucap Emir.

Arum menatap laki-laki itu, tubuhnya seperti Emir tampan sudah pasti. Mungkin wajah wajah tampan emang tercipta di negara ini. Perpaduan antara Arab dan Eropa. Turki memang termasuk negara Eropa bukan, Arum akui itu.

"Perkenalkan ini Arum" ucap Emir, memeperkenalkan Arum kepada Aslan.

"Hey saya Aslan".

***

TERPIKAT CINTA MAFIA (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang