BAB 14

5.2K 213 0
                                    

Sudah tiga hari pergi kepergian Emir ke Istanbul. Emir tidak pernah menghubunginya lagi. Arum menjalani aktifitas seperti biasanya. Arum membawa paper bag berisikan bahan-bahan makanan, Arum sengaja membeli beberapa keperluan untuk dirinya di supermarket. Arum terdiam sesaat, menatap Aslan ia sedang berada didepan pintu pagar. Arum berusaha jalan dengan tenang ia mendekati Aslan.

Aslan menatapnya, dan ia masih terlihat tampan. Arum menarik nafas, dan ia tidak memperdulikan Aslan dihadapannya. "Bisa kita berbicara empat mata?" Ucap Aslan.

"Kenapa?".

"Saya tahu, kamu tidak menyukai kehadiran saya. Tapi yakinlah ini merupakan hal yang sangat penting untuk kamu ketahui" ucap Aslan.

Arum memutar tubuhnya menatap Aslan. "Hal penting apa yang harus saya ketahui?".

"Emir" ucap Aslan datar.

Arum mulai berpikir, dan kembali menatap Aslan mencoba mempertimbangkannya. "Oke".

"Sebaiknya berbicara di mobil saya saja" ucap Emir.

Arum lalu mengikuti langkah Aslan menuju mobil hitam miliknya. Aslan membukakan pintu untuknya dan Arum lalu duduk.

Aslan menarik nafas, ia kembali menatap Arum. Sweter biru serta celana jins sangat pas ditubuhnya, serta rambutnya yang lurus itu masih terlihat rapi.

"Kamu tahu Emir kemana?" Tanya Aslan.

"Ya, dia ke Istanbul" ucap Arum.

Arum menatap Aslan, "Apa yang ia lakukan disana".

Arum mengedikkan bahu, "ada urusan disana, saya tidak tahu banyak. Kenapa?".

"Kamu tidak tahu siapa Emir" ucap Aslan lagi.

Arum mengerutkan dahi, ya dia sama sekali tidak tahu siapa Emir sebenarnya. Arum baru menyadari itu, Emir adalah hanya keponakan bibi Sarah.

"Saya tidak tahu, siapa Emir sebenarnya?" Arum semakin penasaran.

Aslan terdiam sesaat, ia melipat tangannya di dada, "saya pikir kamu sudah tahu siapa Emir. Oh Tuhan, kenapa kamu tidak bertanya kepada saya. Kamu sudah berapa lama bekerja sama dengan Emir?".

"Sebulan lebih".

"Sudah lama juga ternyata. Jadi kamu tidak tahu siapa Emir?" Tanya Aslan lagi, ia mencoba memastikan.

Arum menggelengkan kepala, "tidak, saya sama sekali tidak tahu. Yang saya ketahui adalah Emir keponakan bibi Sarah".

"Saya juga mengenal bibi Sarah. Bibi Sarah itu adalah bibi dari semua orang turki disini. Siapapun bisa menjadi bibinya. Bibi Sarah menganggap kami semua keponakannya, saya, Zaenal, Hamid, Hayat dan masih banyak lagi. Karena bibi Sarah sangat baik, bibi Sarah menganggap kami semua anak-anaknya".

"Benarkah?" Arum masih tidak percaya.

"Ya, jika kamu tidak percaya, saya akan mengajak kamu kesana nanti".

Arum masih mencerna kata-kata Emir. Arum pikir Bibi Sarah adalah keluarga terdekat Emir disini. Pantas saja Emir tidak sungkan memperkenalkan dirinya kepada bibi Sarah. Karena memang bibi Sarah tidak memiliki ikatan apapun kepada Emir. Oh Tuhan, kenapa ia baru menyadarinya.

"Apa Emir menyuruh kamu menjauhi saya?" Ucap Aslan.

Arum mengangguk, "ya" Arum membenarkan itu.

"Saya sudah menduganya".

"Kenapa? Saya masih tidak mengerti" ucap Arum.

"Kamu tidak tahu, kenapa asistennya terdahulu pulang ke Filipina?" Ucap Aslan.

Arum semakin tidak mengerti, Oh Tuhan kenapa ia tidak tahu apa-apa masalah itu. Arum hanya diam, jujur ia tidak siap mengetahui siapa Emir sebenarnya.

"Kamu pernah bertanya, apa pekerjaan Emir?".

"Pernah, dia bekerja di bank swasta".

Aslan tertawa, tawanya seketika berhenti, "bank swasta? Kamu polos sekali ternyata" dengus Aslan.

"Saya waktu itu pernah ingin melindungi kamu dari Emir. Saya menunggu kamu di luar sana seharian. Kamu malah tidak keluar sedikitpun. Emir pasti melarang kamu keluar bukan?" Ucap Aslan.

"Ya" Arum membenarkan lagi.

"Cepat kasih tahu saya, siapa Emir sebenarnya" ucap Arum sepontan.

"Ok, saya masih bingung ingin mulai cerita dari mana".

Arum menatap Aslan, Aslan menarik nafas dan lalu berucap. "Emir adalah pemilik pembuatan senjata api ilegal" ucap Aslan.

Arum mengerutkan dahi, "Bukankah itu kamu?" Ucap Arum.

"Saya? Yang benar saja. Emir pasti yang memberitahu kamu tentang saya, Oh Tuhan, ternyata Emir mencoba mencuci otak kamu Arum, dan kamu percaya?".

Arum hanya diam, ia tidak bersuara. Kali ini ia mencoba mempercayai Aslan. Ia kembali menatap Aslan. "Teruskan cerita kamu".

"Begini, dulu kami memang bekerja sama. Tapi saya memilih mundur, karena saya tahu itu merupakan hal kriminal. Karena saya dan Emir pernah di penjara sebelumnya beberapa bulan saja. Saya memilih mundur teratur, saya memilih usaha legal saja, yang pasti-pasti saja. Saya memilih membuka usaha pembuatan anggur yang legal. Emir tidak berniat untuk mundur usaha yang telah dirintisnya. Senjata rakitan itu telah ia jalani diam-diam selama ini. Dia pasti selalu pulang malam bukan?".

Arum membenarkan lagi ucapan Aslan. Emir memang selalu pulang malam ketika bekerja bahkan larut.

"Kamu pasti dilarang, masuk kedalam kamarnya bukan?".

"Iya, dia memang melarangnya. Tapi sekarang ia mempercayai saya " ucap Arum.

"Oke, itu kemajuan yang baik. Kamu boleh memeriksa kamarnya, ada tempat rahasia disana. Kamu boleh memeriksanya".

Arum kembali hening, semua dugaan Aslan benar adanya tentang Emir.

"Selama ini keluarganya tidak tahu apa yang Emir lakukan di London. Padahal keluarga Emir cukup terpandang di Istanbul, saya memang pernah mendekati adiknya Alya. Sekarang adiknya bekerja di istanbul sebagai jurnalis Tv swasta terkanal disana. Sesuai dengan apa yang ia cita-citakan. Saya memang memutuskan hubungan itu, karena saya memang jenis laki-laki tidak bisa berhubungan jarak jauh. Alya awalnya tidak terima dan dia patah hati. Emir menyalahkan saya, atas tindakkan itu. Akhirnya dia membenci saya seperti ini".

Arum hanya diam dan menyimak apa yang Aslan bicarakan.

***

TERPIKAT CINTA MAFIA (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang