PROLOG

208 3 3
                                    

"Jika aku tidak bisa memilikimu di kehidupan ini, mungkin kelak di kehidupan lain, aku berdoa semoga cinta ini tidak kandas oleh ruang dan waktu."

By: Author

        Cinta ini sungguh membunuhku. Aku tak tahu lagi harus bagaimana menghadapinya. Cinta ini seakan datang bagai rayap yang terus menyerap hawa kehidupanku. Saat aku benar-benar sudah memutuskan untuk menjauhkannya dari hatiku. Melupakannya. Dan bertahan hingga akhir. Namun, kenyataannya tak semudah itu. Ia tetap datang bagai hantu. Ia datang dengan sejuta asa yang memaksaku bertekuk lutut. Ia selalu punya alasan untuk menyelusup ke balik sanubariku. Ia datang tanpa diundang. Ia hadir sekehendak hatinya. Tak ada yang bisa kuperbuat. Aku menyerah.

Sekali lagi mataku terbuka. Situasi ini benar-benar nyata. Bukan rekayasa. Sungguh tak terduga. Aku terdiam dan terpaku. Langkahku menghujam tepat di tempatku berdiri. Aku membisu. Hanya jantung yang terus berdetak. Berdebar, dan lalu...

"Bagaimana?"

Kalimat itu sontak menyadarkanku lagi. Aku menengadah. Hatiku gelisah. Kembali kutatap kedua bola mata yang sedang menatap itu.. Aku tersiksa. Wajah itu... sulit bagiku untuk berpaling.

Wajah itu adalah cinta. Mata itu adalah cinta. Dan bibir yang terucap itu adalah cinta. Aku mencoba melawan. Namun, hatiku terus bergejolak seirama aliran darah memompa ke bilik jantungku. Aku tercekat. Wanita itu bagaikan malaikat. Aku benar-benar terpikat.

"Kak AL??"

'Malaikat cinta' itu bertanya untuk yang kesekian kalinya. Aku menelan ludah. Aku palingkan wajahku sejenak ke atas tanah. Lantai itu terlihat basah. Genangan air berseliweran dimana-mana. Dengan rintik-rintik yang menghujam tepat ke permukaan genangan itu. Aku tersadar, hari ini sedang hujan. Sejak tadi melanda kampusku. Aku juga baru ingat... bahwa aku sedang menuntaskan latihan intensifku di lapangan ini. Aku sedang mempertajam lemparan three point basketku. Hanya sendirian.

Dan tiba-tiba saja wanita ini datang entah darimana. Datang dengan membawa sebuah 'petaka' bernama cinta. Sebuah ungkapan yang membuatku terjebak dalam dilema. Diperhatikan oleh massa. Aku seolah menjadi bahan tontonan. Terus terang... aku ingin mengakhiri situasi ini. Tempat dan waktu yang sungguh tak tepat. Wanita ini terlalu gegabah. Apa ia tak mempertimbangkannya terlebih dahulu. Apa ia tak tahu bahwa aku membenci keadaan ini? Aku menyimpan resah.

Ingin rasanya segera menyingkir dari sana. Namun, kakiku seolah terjebak dalam belikat. Seolah terbenam dalam bumi. Tak berani membantah. Tak kuasa berpindah.

"Hujan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Hujan..." kataku lirih.

"Eh...?" Dia berjengit

Tanpa menunggu perintah, langsung kutarik ia ke tepi lapangan. Ia tampak tak menduga tindakanku yang tiba-tiba itu. Sesaat hampir berada dekat tiang beton penyangga, peganganku dihempaskannya. Aku terkejut. Reflek berbalik memandangnya. Aku tak berpatah. Hanya sorot mata yang bertanya.

"Jangan lakukan ini!" ucapnya pilu nyaris histeris.

Aku menoleh. Alis bertautan. Tenggorokan tercekat. Kutatap lagi kedua mata bening itu.

Sepertinya ia menyadari apa yang akan kulakukan terhadapnya. Seperti yang kulakukan terhadap yang lain. Ya, aku akan menolaknya! Aku akan melakukan seperti yang telah kulakukan seperti biasa. Aku tak bisa menerima cinta. Hidupku telah cukup menderita karenanya. Bagiku cinta ibarat neraka yang membakar hasrat di jiwa. Cinta adalah bencana. Cinta adalah sang pengkhianat bertopeng. Tak berperasa. Tukang memaksa.

Namun, kendati demikian... tahukah kau? Wahai cinta di depanku ini...

Kau berbeda!

Lima menit waktu berselang. Aku kembali menariknya merapat di bawah atap. Hingga hujan tak lagi membasahi kami berdua. Ia hanya diam menurut.

Kutatap lagi wajah itu.

Ia tertunduk. Bibirnya terkatup. Tak bergeming.

Cardigan hijau yang dikenakannya jadi menyusut Karena hujan. Celana Skinny jean itu sudah sepenuhnya basah. Aku miris melihatnya. Ingin rasanya memeluknya walau sekejap. Sekedar menghangatkan. Seraya berujar: Tolong percayalah kepadaku. Hanya perlu percaya... jangan bertanya. Karena aku takkan pernah bisa menjawabnya...

Kulihat ia masih terdiam di sela-sela raut wajahnya yang gelisah. Ekpresi itu tampak pucat pasi. Aku jadi serba salah.

Ia mengangkat kepalanya. Lalu bola matanya menelusuk tajam ke arahku. Sesaat aku bergidik. Tatapan itu seolah menyimpan sejuta pilu. Sejuta sendu. Dan sejuta harapan, tentunya.

Aku kembali menelan ludah.

"Aku mengerti..." katanya.

Aku terhenyak.

"Aku tak tahu harus berbuat apalagi... aku hanya.. aku..." Ia menyesap bibirnya yang bergemetar. Kemudian melanjutkan.

"Maafkan aku..." Ucapnya lemah. Terdengar seperti pasrah bagiku. Sorot matanya berubah. Setitik bening dapat kulihat di sudut sana. Aku dilanda bingung.

"Selamat tinggal!" Tukasnya. Ia berbalik. Dan langsung melesat pergi. Berlari kecil tanpa menoleh ke belakang. Menerabas deras hujan. Aku tertahan. Tergugu. Terpana.

"Tu.. tunggu!" tanganku terangkat. Terbentang diatas udara. Tapi, langkah kaki tak berkutik. Tak tergerak untuk mengejar. Jeritan yang tertahan. Tenggelam dalam hujan.

Mataku hanya terus memandangi punggung wanita itu. Terus menyaksikan sosok itu yang tenggelam dalam rintik-rintik kecil yang menyamarkan tangis air matanya. Seumpama hujan yang terus mengempur bumi. Hatiku pun berdesir deras. Berdebar menghentakkan. Berdetak menyesakkan. Hanya batin yang terus berbisik lirih: Maafkan aku... Maaf!

Ingin sekali aku menjawab 'Ya, aku menerimamu... aku juga mencintaimu... jadilah pacarku. Namun, kata-kata itu hanya menjadi tilam dibalik pualam. Hanya terpedam dalam diam. Aku tak mampu.

***

Boy Don't CryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang