Chapter 2

55 2 1
                                    

"Mungkin saat ini aku tak menginginkanmu, tapi tak tahu nanti..."

By: AL

Pagi itu tampak ramai orang yang mengantri di gerbong MRT yang terletak di lantai 2. Aku menunggu dengan gelisah sembari melirik jam tangan yang sudah menunjukkan pukul 7 setengah.

Aku mengeluarkan ponsel. Dan sekali lagi memperhatikan foto cewek itu yang tampak manis dan modis.

Namanya Nancy Jewel Mcdonie. Ibunya orang korea yang sudah lama menetap di indonesia. Sedangkan Ayahnya adalah pelancong dari Amerika yang selalu berwisata ke negeri ini. Entah bagaimana keduanya bertemu. Nancy akhirnya lahir disini dengan status kewarganegaraan indonesia. Aku hanya mengetahui sebatas itu. Selebihnya tidak.

Terdengar suara sirine pemberitahuan bahwa kereta sudah tiba. Dapat kulihat transportasi yang masih berumur 3 bulan beroperasi itu datang.

Aku segera berdiri. Dan sengaja memilih gerbong di ujung, karena sedikit yang mengantri.

Saat pintu itu terbuka. Aku terkejut. Begitupun dengan sepasang mata berbentuk bulan sabit itu. Kau takkan menyangka kawan. Tahukah kau siapa dia?

Nancy!

Gerbong itu penuh. Sedangkan ia tampak terdesak berdiri menggelantung dekat pintu. Kereta akan segera berangkat. Aku tak punya pilihan.

Bergegas aku melompat masuk terpaksa. Hingga berdempetan dengannya. Tubuh kami saling berhadapan dan menyatu layaknya orang berpelukan. Hanya tangan yang masing-masing menggelantung, karena begitu padatnya dalam MRT itu. Dapatlah kudengar detak jantungnya yang bertalu-talu, layaknya diketuk palu. Begitupun dengan jantungku yang rasanya hampir mau copot kala mencium bau sampo rambutnya yang penuh semerbak wangi. Hal ini takkan terjadi jika saja badanku sedikit lebih tinggi 10 cm darinya. Positifnya, mata kami tak perlu bertemu. Ia hanya terdiam pasrah di dada bidangku. Betapa tak terkira malunya aku, ketika ia juga dapat mendengar suara jantungku. Oh God! Is this karma?

Tak ada sepatah katapun yang keluar. Kami berdua tampak canggung dalam pikiran masing-masing. Perjalanan yang seharusnya hanya perlu ditempuh sekitar 10 menit, jadi serasa 10 jam saja.

Tiba-tiba pandanganku tertuju pada sebuah tangan yang hendak melakukan pelecehan terhadap Nancy. Aku baru ngeh ketika Nancy terus bergerak gelisah. Awalnya kupikir karena ia tak nyaman di dekatku. Ternyata bukan. Betapa bodohnya aku tak segera menyadari hal itu.

Mungkin ia akan langsung memberitahukannya padaku, bila saja kejadian kemarin sore itu tak pernah terjadi.

Tak perlu menunggu lama. Aku langsung menyergap tangan itu. Karena terlalu sempit, tak banyak orang yang menyadarinya. Selanjutnya aku segera memutar tubuh kami berdua. Hingga posisi kami bertukar.

Andai saja tak rame disini. Mungkin sudah kulayangkan sebuah pukulan bertubi-tubu ke wajah mesum itu. Serta mematahkan kedua tangannya.

Namun akhirnya yang bisa kulakukan hanyalah memberi sorot mata tajam seolah memperingatkan: "Gue bakal mencincang tubuh lo jika menyentuhnya lagi. Serta mengumpannya ke kandang babi!"

Laki-laki itu langsung membuang muka sembari pura-pura menatap ponselnya.

Kereta pun tiba. Pintu otomatis terbuka. Aku segera mendorong tubuh Nancy keluar. Dan langsung menarik tangannya menuju eskalator turun. Dia menurut saja dalam diam.

"Lo bodoh ya!" Kataku setelah kami berada di tepi jalan.

"Kenapa aku?" Ujarnya kesal. "Kenapa Kakak masih peduli denganku! Bukankah kakak sudah menolakku?" jawabnya histeris.

"Abaikan saja aku! Tak usah hiraukan aku! Kita pura-pura tak kenal saja setiap ketemu. Apa kakak tak bisa melakukan semua itu?" Imbuhnya lagi dengan putus asa.

Orang yang lalu lalang pada memperhatikan kami.

Aku terdiam malu. Tidak bisa berkata apapun. Anehnya, hatiku pedih. Terluka, bak disayat sembilu, mendengar semua perkataan itu. Memang sudah dipastikan aku telah jatuh cinta pada cewek ini. Aku tak bisa mendustainya. Andai saja waktu bisa diputar kembali.

Aku hendak mengangkat tangan untuk menyeka air di sudut mata yang hendak mau keluar itu. Namun, langsung ditepis olehnya.

"Tinggalkan aku. Jangan mendekatiku lagi! Plis kak!!" Sahutnya pedas.

Deg! Jantungku meringis untuk yang kedua kalinya.

Dia berbalik pergi. Lagi-lagi aku hanya diam terpaku. Tak tergerak untuk mengejarnya. Hanya menatap dalam kekosongan.

***

Boy Don't CryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang