Chapter 5

29 1 0
                                    

Salah satu penyakit CINTA
Yakni Hati yang memaksa, dan Logika yang berprasangka!

By: AL

Kenangan itu kembali menyeruak. Bak keping-kepingan puzzle yang sebelumnya telah hancur berantakan kini kembali tersusun satu- persatu. Rasa itu perlahan-lahan mulai menggempur sanubari dengan sangat halus namun menyakitkan.

Bayangan itu berkelabat menembus masa lalu. Bagaimana semua hal ini dapat terjadi. Kini memori kelam itu telah kembali.

Mustahil!

Tidak mungkin dia. Mungkin hanya nama yang sama. Bukankah sudah umum jika ada beberapa orang yang memiliki nama persis. Bagaimana mungkin Tuhan akan menguji hidupku lagi dengan orang yang sama. Bukankah seharusnya tingkat ujian hidupku bertambah dan berbeda?

Oke. Santai. Mungkin aku kelewat lebay.

Cowok berbadan besar itu kembali memanggil untuk yang kedua kalinya. Lagi-lagi yang dipanggil tak tampak ada reaksi. Sedangkan aku sedari tadi tetap di tempatku berdiri. Mengamati dari jauh. Terus terang, walau dari sejarak ini. Aku merasa bentuk tubuh dan kepalanya dari belakang memang persis seperti dia. Tak mungkin aku lupa dengan sosok orang yang telah hidup selama 3 tahun denganku. Hanya satu yang berbeda dari cowok bernama "Faiz" itu. Ya, rambutnya yang panjang dan dikucir kuda. Tak seperti dulu yang pendek cepak.

Kini mereka sudah bertemu. Cowok bernama Faiz itu tertutupi dirinya oleh temannya yang berbadan besar tadi, sehingga aku tak bisa melihat wajahnya.

Saat aku sibuk menatap itu, tanpa sadar Nancy sudah memperhatikanku semenjak tadi. Ia pikir mungkin aku akan mengganggunya lagi. Sehingga langsung saja ia pamit. Dan Buru-buru meninggalkan kantin itu.

Entah kenapa, melihat tingkahnya itu semakin membuatku kecewa dan terluka. Apakah ia tak bisa melihat kedalam hatiku yang tak pernah membencinya dan selalu mengkhawatirkannya.

Oke, benar. Ini salahku. Faiz atau bukan. Aku harus memperingati Nancy. Walau bagaimanapun. Cewek itu cukup polos dalam hal percintaan. Dan cukup mudah dilobi oleh cowok-cowok lain. Terlihat dari tingkahnya yang riang, aktif dan selalu tersenyum saat menyapa orang-orang. Seolah-olah dunia mencintainya. Padahal mereka hanya menginginkan sesuatu yang ada pada dirinya. Sungguh naif.

Aku harus bertindak.

Aku sudah tak peduli lagi dengan wajah pengkhianat masa lalu itu. Lebih baik aku mengejar Nancy.

Segera aku melesat berlari dan saat melintasi tempat itu, entah kenapa aku merasa ada aura dingin sedang menatapku. Namun, aku tetap tak menghiraukannya. Aku sudah bisa melihat sosok Nancy yang sedang berjalan menuju kelasnya.

"Hei.. tunggu!"

Yang dipanggil berbalik. Saat ia melihatku, Bukannya berhenti. Dia malah berlari menjauh. Otomatis aku terpaksa berlari 2x lebih cepat.

"NANCY, PLIS.. BIARKAN GUE NGOMONG DULU!" Teriakku membuat ia bimbang sejenak. Saat dalam kondisi itu, aku akhirnya berhasil menjajari langkahnya.

"Nancy... hosh!" Aku menunduk sebentar sambil menyelesaikan nafasku yang tersengal-sengal.

"Nancy, siapa cowok tadi?" Tanyaku setelah tenang.

Ekpresinya kelihatan dongkol.

"Kenapa lagi sih!? Bukan urusan kakak! Lagian tadi pagi bukannya udah kubilang jangan ganggu aku lagi! Kakak bebal banget sih."

Aku terkejut dengan semprotan kata-kata itu. Memang sih dia benar. Tapi, kalau dipikir-pikir lagi apa sih salahku sebenarnya?

"Tunggu. Stop." Aku mengangkat tangan. Dia tersedak sedikit."Biar kita perjelas dulu semuanya."

"Apa sih!?" gerutunya kesal. Mukanya semakin geram.

"Kenapa lo benci gue? emang salah gue apa sih?"

Nancy mulai kebingungan dengan pertanyaanku itu. "Maksud kakak?"

"Loh, kok tanya balik. Justru gue yang bingung. Kenapa gue nggak boleh dekatin lo. Sedangkan cowok lain boleh?" balasku tak terima.

"Eh?" dia diam sebentar. "Kakak memang nggak tau atau pura-pura nggak tahu sih?" ujarnya jengkel.

"Sumpah! gue nggak tahu." Aku mengangkat telapak tanganku sebagai simbol menyakinkan.

Dia terdiam. Ekpresinya meringis. Sedikit-sedikit air mukanya mulai berubah.

"Kakak Jahat!" jawabnya histeris tiba-tiba. Ia berbalik pergi.

Aku terkejut. Kupingku mendadak budeg.

"Loh, loh.. kok gitu?" aku semakin bingung tak mengerti.

Aku segera menahannya. "Tunggu!"

"Teganyan kakak gitu ke aku!." ujarnya setelah menghempaskan pegangan tanganku.

Lagi-lagi aku tak bisa menangkap maksudnya. Sedangkan aku dapat melihat air matanya mulai menyeruak. Mendadak pikiranku kecut. Takut-takut orang menyangka aku menjahilinya. Apalagi kalau sampai temannya yang galak itu datang.

"Nancy.. tenang. Tenang dulu." Aku berusaha menenangkan bahunya.

"Lepaskan!" ia langsung menepis tanganku.

"Nancy, pliss.. tenang dulu." aku menangkup kedua tangan memelas.

"KAKAK UDAH MENOLAKKU, DAN SEKARANG NGGAK MAU MENGAKUINYA! EMANG KAKAK ANGGAP AKU APAAN?!!" Jeritnya keras hingga air matanya pun jatuh luruh membasahi wajahnya. Ia menangis tersedu-sedu dengan berjongkok dilantai.

Hatiku langsung mencelos. Bak ditusuk tombak Poseidon. Rasanya seperti dihujam ribuan peluru. Ah entah bagaimana menjelaskan rasanya. Hanya satu yang pasti, aku harus memperjelas segalanya.

"Nancy..." aku memanggilnya lembut dengan ikut berjongkok sambil kembali memegang pundaknya.

Kali ini ia tak menolaknya. Masih sibuk menangkupkan wajahnya dibalik kedua telapak tangan. Sesunggukan.

"Nancy..." Aku memanggil untuk yang kedua kalinya. Ketika melihat ia mulai mengangkat wajahnya, aku meneruskan,"Memangnya gue pernah menolak lo?"

Dia tercengang.

"Memangnya gue benar-benar mengatakan dengan mulut gue sendiri, kalau gue nggak suka sama lo atau nggak mau jadi pacar lo?" tanyaku mulai serius.

Ia kembali tercenung.

Setelah melihat ekspresinya itu, aku semakin mantap melanjutkan.

"Gue benar-benar nggak pernah menolak lo. Ingatkah lo, waktu itu. Sebelum gue sempat menjawab, lo udah hilang entah kemana. Jadi, kasih tahu gue. Dimana letak kesalahan gue?" tanyaku lagi semakin membuat ia mati kutu tak berkutik.

Tampak, ia sedang sibuk mencerna kata-kataku dengan serius. Hingga akhirnya ia kembali menyeka hidung dan pipinya.

"Eh, iyakah?" tanyanya bingung.

Aku mengangguk. Dengan sedikit tersenyum simpul.

Tiba-tiba dari kejauhan terdengar teriakan keras yang membuat tubuhku mendadak meremang. Oh Tuhan! Nenek sihir itu sudah datang

"HEI! BANGSAT! KESINI LO!!" Umpat suara itu membuatku semakin tertekan.

"Jadi, Nancy. Tolong jelaskan ke teman lo itu, ya. Gue cabut dulu."

"Eh, kakak mau kemana?" tanyanya bingung.

Belum sempat ia menyelesaikan keterkejutannya, aku sudah lari terbirit-birit meninggalkan ia dengan temannya.

"Ah, sial. Gue belum selesai ngomong. Dasar mak lampir! ganggu aja!"

Aku terpaksa kembali ke kelas.

Faiz! Entah benar atau bukan.

Aku harus segera menggali informasi dari Sani!

***



Boy Don't CryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang