Chapter 3

39 2 0
                                    

"Aku merindukan perasaan itu. Sebuah rasa yang membuatku selalu Bahagia dan Tertawa. Dan Aku ragu akan hal itu, apakah itu CINTA?"

By: AL

   Aku merangkul tas ransel menyusuri sepanjang lorong kampus. Dadaku terus bergolak memikirkan kata-kata Nancy tadi. Tak bisa tak kupikirkan. Bayangan ekpresinya itu terus berkelebat dipelupuk mataku. Aku berusaha mengenyahkannya. Namun yang ada hanya luka perih di dada. Oh, God! Sesakit inikah rasanya?

Sembari berjalan aku bergegas mengeluarkan sebuah buku dari tas. Sambil melakukan hal demikian, beberapa orang mahasiswa serentak menyapaku. Yang kubalas dengan anggukan seperlunya saja. Terlebih dari kalangan mahasiswinya, mereka langsung berbisik heboh setiap aku melintas di hadapan mereka. Situasi yang menyebalkan, pikirku. Aku abaikan saja terus mengacuhkan mereka.

Sepertinya berita aku menolak Nancy, sudah menyebar luas bak virus. Tak ada yang bisa kuperbuat akan hal itu. Tiba-tiba aku mengkhawatirkan Nancy.

Tunggu! Bukan hanya itu saja. Masih ada situasi yang paling memuakkan dan lebih menyebalkan lagi. Hanya butuh dalam hitungan tiga detik. Satu... dua.. ti...

"Hai, Darling! lo kemana aja sih. Gua sudah seharian tadi mengitari kampus untuk mencari lo. Apa lo nggak kangen sama gua." cerocosnya sambil menyentil bahuku.

Ini dia pikirku. Sosok kucing berwajah manusia. Selalu mengekorku kemana-mana. Tak pernah jera, meski kuusir beberapa kali. Walau dia mengatakan demikian. Aku tahu, sejak awal aku datang tadi, dia sudah menunggu di dekat pintu gerbang kampus. Dia mengendap-ngendap seperti kucing kelaparan. Meski aku menyadarinya, aku selalu berpura-pura mengacuhinya. Masa bodoh, pikirku.

Bahkan yang terlebih menyesakkan lagi, yah.. seperti para kucing pada umumnya. Dia tidak datang sendiri. Ia selalu membawa kawanan sejenisnya untuk memblokade langkahku. Ini salah satu rutinitas yang tak pernah ada habis-habisnya sejak pasca kemenangan kejuaraan basket tahun lalu. Efeknya begitu heboh. Padahal basket adalah olahraga yang tak begitu populer di mata dunia. Hanya segelintir orang saja yang menyukainya. Namun, tidak jika olahraga itu berkecimpung di dalam kampus, atau sekolah-sekolah. Rasanya kau sudah seterkenal Cristiano Ronaldo. Salah satu pemain terbaik dunia.

Aku langsung segera merogoh kembali tasku, memeriksa buku yang akan dikembalikan. Aku tak menggubriskan mereka.

"Darling..."

Aku kembali menderapkan kaki menjauhi mereka. Namun, seperti biasa. Mereka tak mau beringsut pergi. Terus menempeliku seperti permen karet. Dengan mulut yang tak henti-hentinya mengoceh tentang kejadian-kejadian yang tak ada hubungannya denganku. Kubiarkan juga ia menggamit tanganku. Atau berkoar-koar kepada orang banyak bahwa ia adalah pacarku.

Setelah lima belas menit aku mendengarkan ocehan gilanya. Akhirnya ia pun pergi dengan keceriaan yang dipaksakan. Sungguh menyedihkan. Aku langsung mengibas-ngibas lengan kemejaku tempat ia menyentuhnya tadi.

Namanya adalah Shinta. Aku menyebutnya shinta gila plesetan lagu dewa 19 "Cinta Gila". Ia adalah salah satu mahasiswi jurusan psikologi. Ia memiliki kebiasaan berjalan yang dilengok-lengokkan bak model. Dengan tak lupa make-up menor sebagai ciri khas wajahnya. Bagiku, ia lebih terlihat seperti PSK jalanan yang memiliki asam urat di pinggulnya.

***

Akupun tiba di depan pintu perpustakaan. Aku memungut kunci loker, dan segera menuju lokasinya untuk meletakkan tas ranselku. Dengan tak lupa buku binder, kukeluarkan.

Selanjutnya aku berjalan menyusuri tiap-tiap rak perpustakaan itu. Aku menggaruk-garuk kepala yang tak gatal. Buku yang kucari sepertinya tak ada. Sepertinya dipakai seseorang atau dipinjam, mungkin. Aku kembali menelusuri ke jejak rak sebelumnya. Aku memutuskan membaca buku yang lain. Buku Teknologi Informasi. Seputar pengembangan teknologi dari masa ke masa. Akupun memilihnya.

Boy Don't CryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang