"Mulai besok, kamu harus masuk pesantren!" tegas ayah sembari menatap dingin ke arahku.Apa? Masuk pesantren? No, no, no. Aku tidak mau masuk penjara suci itu. Tempat yang sangat tak kuinginkan. Mengekang dan hanya diperintah untuk menghafal, mendengarkan ceramah yang membosankan.
"Apa?! Mondok?! Gak mau!" Aku menolak titah ayah. Berbalik, menatap lekat kedua mata coklat bunda. "Bunda ...," rengekku sembari menggoyang-goyangkan pergelangan tangan bunda. Berharap Bunda menolak keputusan ayah yang mendadak itu.
Bunda hanya diam. Tak menggubris perkataanku barusan. Ikh! Paling kesel kalau dikacangin dah. Kayak martabak spesial isi kacang. Berarti aku spesial, wkwk.
Bunda menatap lekat ke arahku. "Nak, menuntut ilmu itu hukumnya wajib, fardhu 'ain. Lagian, ini demi kebaikan kamu juga. Agar perilaku dan adabmu menjadi benar. Bukan yang seperti ini, miris," tutur Bunda seraya mengelus pucuk kepalaku.
"Huuh! Gak mau! Pokoknya, Yumna gak mau mondok. Titik!" bentakku hingga gertakan keras keluar dari mulut ayah.
Sekarang diri ini diam bak patung. Mau menangis rasanya. Hiks, ayah tega.
"Nak, turuti saja apa yang ayahmu bilang." Kini diriku mencair.
Yasudah. Apa boleh buat. Terpaksalah diri ini menuruti keputusan ayah yang sudah bulat. Aku berjalan gontai memasuki kamar. Menghempaskan tubuh ke kasur yang empuk. Sesekali diri ini menatap langit-langit kamar. Uhk, ingin rasanya lari dari kenyataan, namun tak bisa.
"Sudahlah, Na. Ikuti aja nih alur hidup kayak arus sungai!" ketusku sembari guling-guling kayak kambing guling. Eh? Ngawur terus.
Yumna madani al-faruq. Itulah nama asliku, bukan palsu, ya. Kini usiaku menginjak enam belas tahun. Masa remaja, bisa dibilang kayak gitu sih. Sifatku memang benar. Jauh dari yang namanya agama. Jauh dari kata 'perempuan Sholehah'. Itulah penyebabnya mengapa diriku mau disekolahkan di tempat mondok.
Berat rasanya besok harus meninggalkan keluarga yakni, ayah dan bunda. Hiks, besok akan jadi perpisahan yang mengharukan.
"His! Lebay!" ucapku sembari mengigit bantal bercorak bunga aster. Ck, gak jelas amat.
"Yumnaaa ...! Cepat, beres-beres! Besok kan harus mondok!" Suara bunda terdengar hingga sampai ke kamarku. Males amat, ihk. Beresin semua pakaianku yang super duper banyak.
Turun dari kasur. Berjalan malas sembari membuka lemari pakaian. Aku mengeluarkan seluruh isi lemari itu. Huft, males bat dah kalau soal beres-beres buat pergi ke suatu tempat.
Besok sudah harus pergi mondok. Gimana rasanya, ya, mondok itu? Di satu sisi aku penasaran. Di satu sisi lagi malas untuk pergi ke penjara suci ntuh. Males, Mak e!
* * *
Hari ini adalah saatnya diriku untuk pergi ke pesantren Mustofa. Ya, itu adalah nama
tempatku nanti Mondok. Aku memakai hijab pashmina krim yang diselempangkan ke belakang.Aku tak mau memakai khimar yang lebar dan panjang itu. Yang kupakai hanya gamisnya. Karena terlihat bagus menurutku.
Tok, tok, tok!
Hingga terdengar suara ketukan pintu dari arah kamarku. Aku terperanjat dan segera membukakan pintu. Sosok wanita paruh baya yakni bunda memandangku dari atas sampai bawah. Memberikan tatapan heran.
"Mana Khimarmu?" tanya bunda intens. Sepertinya dia tak suka jika aku memakai hijab pendek kayak gini.
"Tuh. Ada di atas kasur," jawabku seraya menunjuk ke arah kanan dengan kepalaku.
Lantas bunda melangkah sembari mengambil Khimar yang berwarna senada dengan gamis yang kukenakan. Bunda melangkah sembari melepas paksa hijab pashmina yang dari tadi aku pakai.
"Jilbab itu, fungsinya untuk menutupi dada, Nak. Bukan untuk bersolek diri," tutur Bunda lembut sembari memakaikan Khimar itu ke kepalaku. Uhk, kayak emak-emak.
"Gak mau, Bun. Kayak emak-emak entar ...," rengekku berusaha untuk melepaskan kain panjang ini dari kepalaku.
"Gak ada yang namanya kayak emak-emak. Malah putri bunda cantik pakai Khimar," pungkas bunda sembari menyuruhku untuk bercermin.
Sosok pantulan diriku berdiri di depan cermin. Benarkah itu aku? Terlihat sangat cantik. Kan Yumna emang cantik, wkwk. Benar apa yang bunda bilang. Aku mulai suka sama nih kain panjang dan lebar. Walaupun agak susah dan ribet.
* * *
Sampai di lokasi, aku dan kedua orangtuaku berjalan melangkah memasuki kawasan pesantren, setelah dapat izin dari pak satpam untuk minta dibukakan gerbang. Hiks, bentar lagi lah ... aye bakalan dikekang habis sama penjara suci.
Tempat yang begitu ramai di sini. Para santri berjalan melangkah menuju tempat tujuan mereka masing-masing. Hingga netra ini tertuju pada salah satu santri ganteng. Huwa ... Ganteng kayak Oppa Korea ..., hingga tak melihat situasi dan kondisi di depan lagi.
Bruk!
Kepalaku kejedot sesuatu yang keras kayak batu. Aku meringis menahan sakit di bagian jidat. Kalau benjol bisa malu nih.
Aku mendongak. Apa sih yang barusan aku tubruk ntuh? OMG! Seorang pria tampan dengan baju Koko warna maroon. Di tambah peci hitam di kepalanya nambahin ganteng kayak Oppa-oppa Korea bin Arab.
"Ma-maaf!" Aku agak gelagapan. Ukh, kenapa cara bicaraku gagap-gagap gini, ya?
Dia hanya mengernyitkan dahi. Datar amat tuh muka kayak dinding. Langsung melengos meninggalkan diriku yang bengong kayak orang bingung.
Samar-samar aku dengar, "jalan gak pake mata."
Wah, wah ..., diam-diam si muka dinding mengataiku dari belakang. Hingga mata orang yang berada di area sini menyorotiku. Malu? Iya. Kesal? Mungkin. Sontak aku langsung ditarik oleh bunda dibawa menuju ruangan kantor.
Di sepanjang jalan hingga ke kantor bunda mengomeliku dengan bisikan akibat ulah yang tentu saja membuatku sangat malu. Hingga akhirnya sampailah kami di tempat tujuan.
Kami dipersilahkan masuk sembari duduk di kursi dari jati itu. Aku tak terlalu menyimak pembicaraan orang tua. Bagiku sangat membosankan.
"Assalamu'alaikum." Seseorang tengah mengucap salam. Eh? Siapa sih?
Semua sorot mata terpacu pada seseorang yang berdiri di ambang pintu. Termasuk diriku. Eh, itu kan si muka dinding yang barusan aku tabrak tadi?
To be continued ....
Gimana? Afwan kalau pendek.
Soalnya ide sama imajinasi baru nonghil
segini 🙄.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ganteng tapi Kejam✓
RomanceYumna madani al-faruq. Seorang gadis yang berusia enam belas tahun memutuskan untuk bersekolah di pesantren Mustofa, atas paksaan orang tuanya. Hingga, takdir mempertemukan dirinya dengan seorang Gus yang memiliki watak dingin, datar dan keras. Aka...