Part 4

1.6K 67 0
                                    


Kini diri ini diam bak patung. Para santriwati memperhatikan diriku dengan penuh keheranan. Aneh rasanya. Kayak ada manis-manisnya gitu ..., eh! Ada iklan nongol di mari.

Mereka saling berbisik sesekali memberikan tatapan aneh ke arahku. Namun, diriku tak menggubris. Toh, yang mengkomentari adalah orang lain, bukan diri sendiri. Hingga tak lama Bu nyai pun mulai angkat bicara.

“Fathur, ngapain kamu ke area wudhu putri? 'Kan dilarang atuh main-main di area sini?” tanya Bu nyai agak sedikit heran dengan area wudhu putri yang kini berantakan dan genangan air ada di mana-mana. Kayaknya nih, Bu nyai peramal, deh. Soalnya dia bisa tahu, karena barusan kami habis main perang-perangan air, wkwk.

Gus Fathur hanya menggaruk tengkuk yang tak gatal. Bingung mau jawab apa. Aku ingin angkat bicara, namun diberikan tatapan tajam oleh Gus Fathur. Apaan, sih? Orang cuman mau memberitahu yang sebenarnya. Kok, malah larang-larang angkat bicara? Aneh!

“Neng Yumna, Gus Fathur habis ngapain, sih. Di wudhu putri?” tanya Bu nyai yang seketika membuat diriku konslet. Ck, gak jelas amat.

“Eee ..., anu ... g-gini, Bu nyai tadi Gus Fathur habis--” ucapanku seketika terpotong saat Gus Fathur tiba-tiba angkat bicara.

“Fathur tadi salah jalan, Ummi,” jawabnya seraya beranjak dari tempat duduk. Tuh wajah datar amat biar sudah bohong.

“Hah?! Salah jalan?” Serempak para santriwati dan Bu nyai mengucapkan kata-kata tersebut. Sedangkan aku hanya mengernyitkan dahi. Heran dengan jawaban yang barusan dilontarkan oleh Gus kejam ini.

Sontak suara tawa riuh menggema di area wudhu para santriwati. Aku ingin menyergah jawaban Gus kejam bin datar ini, namun lagi-lagi Gus Fathur memberikan tatapan tajam laksana pedang ke arahku, bahkan dia sampai-sampai memberikan ancaman padaku yakni sebuah hukuman jika aku memberitahu yang sebenarnya.

Glek!

Aku hanya sanggup menelan saliva dengan susah payah. Huh! Dasar Gus kejam. Bisanya cuman nganceeem ... mulu. Kalau misalkan aku jadi istrinya, amit-amit dah. Bisa habis diriku dijadikan babu entar.

“Hahaha ...! Fathur ... Fathur, gimana kamu bisa salah jalan sih, nak? Ya Allah ...,” tanya Bu nyai seraya terkekeh geli. Aku hanya bisa tersenyum kecut saja. Sedangkan Gus Fathur hanya memberikan wajah datar.

Bu nyai pun memutuskan untuk membawa putranya yang kejam itu menuju wudhu para putra. Alasan Gus kejam tadi kagak logis! Malah dianggap candaan sama para santriwati serta Bu nyai. Hadeeh ..., capek dah!

Buk!

“Astagfirullah!” Seseorang menepuk pundakku dari belakang. Membuat jantung ini mau copot dari sarangnya. Saat aku berbalik. Ternyata oh ternyata, rupanya Kayla.

“Kayla!” bentakku kesal. Namun, dirinya malah nyengir kuda. Yaelah.

“Hayoo ..., habis ngapain sama Gus Fathur?” godanya seraya menunjuk-nunjuk wajahku.

Aku berdecak kesal. “Tau ah! Udah deh! Males ladenin si muka dinding ntuh!” ketusku seraya membuang muka karena kesal.

“Hah?! Muka dinding? Hahaha ...!” Kayla tertawa layaknya orang gila. Ck, apanya yang lucu, sih? Lalu dilanjutkan, “Siapa si muka dinding, sih? Apa jangan-jangan ..., ciee ... pasti, Gus Fathur, iya 'kan ...?” godanya lagi padaku.

“Tapi. Ngomong-ngomong, ukh cocok lho ... sama Gus Fathur. Coba, kalau dipikir-pikir, kamu bersanding di pelaminan sama Gus Fathur. Pasti, cocok!”

Lagi dan lagi Kayla membicarakan sesuatu yang menurutku sungguh tak penting.

“Paan sih?!” umpatku kesal.

Ganteng tapi Kejam✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang