Part 14 (Ending)

2.6K 78 6
                                    


Aku tak percaya. Dia akhirnya tak memberikan harapan palsu lagi padaku. Artinya, kau tepati janjimu, Gus. Rasanya ingin mewek terus guling-guling di depan Gus kejam ini. Tapi, bakalan malu-maluin saja di depan calon mertua. Serta bakalan dicoret dari daftar menantu idaman.

Bunda lantas mempersilahkan keluarga Gus Fathur untuk masuk ke dalam rumah.

“Gus Fathur?” Aku memanggilnya dengan suara pelan.

Menoleh. “Saya tepati janji waktu itu 'kan?” timpalnya seraya tersenyum penuh ketulusan.

Aku menunduk dan mengulum senyum merona ini. Ah! Rasanya aku sangat bahagia sekali akan segera berdampingan di pelaminan entar sama dirimu, 'Aa Fathur.

“Nak, cepetan sana ... siapin minuman sama cemilan buat tamu istimewa ...” Sekilas bunda tersenyum jahil ke arahku. Aku menunduk.

Rasanya detak jantungku berdegup kencang saat menatap Gus Fathur sekilas. Wajahnya sangat tampan, dengan balutan jubah panjang berwarna putih, dengan sorban yang melilit kepalanya. Untung aku dandan kagak kucel atau dekil. Kalau tidak, malulah diliat calon mertua kalau calon mantunya urak-urakan kayak orang gila, hehe.

“Iya, Bun,” ucapku seraya melengos pergi menuju dapur.

Di dapur, aku agak bingung. Takut tehnya entar terlalu manis, atau terlalu hambar. Soalnya suasana ini beda. Aku membuat teh untuk calon mertua? What?! Semoga rada tehnya pas-pasan saja.

“Eh, teh! Jangan bikin malu aye di depan calon mertua, ye? Hawas, kalau entar lu itu kagak enak!” Aku mewanti-wanti teh yang kini siap untuk diminum.

“Yumnaaa ...! Udah belum tehnya?!” pekik bunda.

Aku grogi. “I-iya, Bun!” Membawa nampan yang berisi cemilan dan teh hangat di atasnya. Untung nih tangan udah kagak nyeri lagi.

Aku berjalan pelan-pelan membawa nampan yang agak berat ini sampai menuju ruang tamu. Takut entar jatuh nih teh. Lalu menyuguhkan kepada tamu terpenting dan istimewa.

“Sini duduk, Na,” titah bunda seraya menepuk-nepuk tempat yang ada di sampingnya.

Lantas, aku pun mengiayakannya. Kini acara lamaran pun dimulai. Orang tua saling berbincang-bincang. Sedangkan aku? Aku hanya menunduk dan tak mampu rasanya menengadah. Entahlah. Sesekali diri ini curi-curi pandang ke arah Gus Fathur.

‘Ya Allah ... sungguh indah dan istimewa ciptaan-Mu yang satu ini,’ batinku kegirangan.

“Nak, gimana?” Tiba-tiba bunda memberikan pertanyaan yang aku belum tahu.

Aku menjadi grogi. “Ma-maksudnya, apa bunda?” tanyaku kikuk.

“Kamu terima, gak? Lamaran dari Gus Fathur?”

Deg!

Rasanya lidahku tiba-tiba kelu di saat momen terpenting ini. Berusaha untuk menetralkan sesak yang ada di dada. Aku akan menerima lamaran ini dengan senang hati, Gus.

Aku mengangguk. Tak mampu suara ini keluar dengan semestinya. Bisa dibilang ... saat ini pipiku pasti merah merona.

“Alhamdullilah ...” Semua mengucap hamdalah secara bersamaan. Kulirik Gus Fathur sebentar. Dia saat ini terlihat santai-santai saja. Tak ada rasa gelisah sedikitpun.

Spontan, netra kami saling bertemu antara satu sama lain. Cepat-cepat aku palingkan wajah ke arah lain. Ingat saat aku pertama kali bertemu dengannya? Netra kami waktu itu saling bertemu. Mata elangnya yang tajam sungguh, sangat indah. Aku tak bisa melupakan momen tersebut.

Kini saatnya aku berpisah dengan keluarga Gus Fathur. Rencananya, kami akan bertemu kembali saat satu Minggu ke depan. Lebih cepat, lebih baik kata bunda, ayah dan orang tua Gus Fathur. Ck, lebih cepat lebih buruk.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 02, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Ganteng tapi Kejam✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang