“Ustadzah Hana? Sa-saya bisa jelaskan!” Aku berusaha untuk meyakinkan dirinya. Agar tak ada salah paham di antara hubungan ini.Namun, nihil. Matanya kini berkaca-kaca. Lalu, berlari dari hadapanku. Meninggalkan diriku sendirian yang kini diam bak patung. Apa yang barusan kulakukan? Ulu hatiku rasanya sangat sakit.
“Ya Allah! Mengapa masalahnya jadi merambat sampai ke telinga yang lain? Lelah rasanya ...,” lirihku seraya menunduk. Tubuh ini perlahan merosot turun dan melemah.
Sekarang aku terisak perlahan. Oh, sudah cukup! Jangan sampai merambat ke telinga orang lain lagi. Hingga, tak lama seseorang menyodorkan tisu padaku. Lantas, aku mendongak.
“Ustadz Zainal?”
Ternyata, Ustadz Zainal ya .... Aku tak terlalu menggubrisnya. Kembali diri ini menunduk terisak menangis.
“Heh! Hapus air matamu, Ustadzah!” tegasnya padaku. Menyodorkan selembar tisu. “Ini! Jangan menangis lagi,” titahnya seraya tersenyum tulus.
Aku lalu menerimanya. Mencoba untuk bangkit. Dibantu oleh Ustadz Zainal dengan menyodorkan ujung sorbannya padaku sebagai penopang. Ku usap air mata yang sedari tadi luruh.
“Kenapa menangis?” tanya Ustadz Zainal yang sedari tadi fokus ke depan.
Aku menggeleng pelan. “Gak! Gak papa, kok, tadz!” jawabku beralasan.
“Jangan bohong, Na! Saya bisa liat dari raut wajah kamu, kalau kamu lagi ada masalah.”
Aku hanya menunduk, sesekali memainkan ujung kuku. Sedang, Ustadz Zainal yang sedari tadi berada di sampingku menghela nafas berat. Lalu, kembali melanjutkan ucapannya tadi.
“Yasudah, kalau gak mau cerita juga gak papa," ucap Ustadz Zainal singkat. Lalu, melanjutkan, “Tapi, kalau ada masalah, bilang! Jangan dipendam sendiri! Paham?” pungkasnya seraya menatapku serius. Lagi-lagi aku dapet perhatian. Hawas kalau modus!
Aku mengangguk. “Iya, Ustadz Zainal! In syaa Allah!” jawabnya seraya tersenyum simpul.
Ustadz Zainal kini berbincang-bincang denganku. Menanyakan perihal tentang diriku. Ataupun ngobrol basa-basi belaka. Dia putuskan untuk mengantarku sampai ke kamar. Dan meninggalkan diriku sendirian di sini.
Aku duduk diam di atas kasur. Sesekali melamun kagak jelas. Memikirkan pernikahan Gus Fathur yang akan diadakan dua Minggu ke depan, membuat dadaku kembali sesak. Sial! Jangan tangisi dia lagi. Sungguh, sangat sia-sia saja.
“Yumna? Aku cariin kamu ke mana-mana, rupanya kamu di sini teh? Ya Allah ...” Kayla spontan berlari seraya mendekatiku.
Hiks, tak dapat menahan air mata ini. Kini isakan tentu saja terdengar di telinga Kayla. Lantas, wanita muda itu memberikan diriku rangkulan seraya memelukku erat.
“Sudah ... sudah. Jangan tangisi keadaannya! Sia-sia air mata berharga kamu itu jatuh hanya karena Gus Fathur!” tuturnya padaku seraya terus mengusap punggungku.
Hatiku rasanya hancur! Tak dapat sempurna seperti dulu lagi. Ya Allah! Hamba mohon, hilangkanlah perasaan ini, lantaran hamba tak ingin terus-terusan merasakan sakit ini.
Tunggu, teringat akan satu hal. Membuat tangisku terhenti seketika. Kembali aku mengingat akan Gus Fathur dan Ustadzah Hana. Bagaiman keadaan mereka?
“Kay! Gimana keadaan Gus Fathur?” tanyaku to the point's.
Netranya membulat sempurna. Kenapa? Aku 'kan cuman pengen tahu keadaan Gus Fathur. Lantaran, aku ngasih kata-kata pedas penuh sindiran halus pada dia. Aku Hanya ingin tahu reaksinya saat itu.

KAMU SEDANG MEMBACA
Ganteng tapi Kejam✓
RomanceYumna madani al-faruq. Seorang gadis yang berusia enam belas tahun memutuskan untuk bersekolah di pesantren Mustofa, atas paksaan orang tuanya. Hingga, takdir mempertemukan dirinya dengan seorang Gus yang memiliki watak dingin, datar dan keras. Aka...