Part 10

1.5K 58 0
                                    


Apa aku harus membaca dan membalas pesan dari Gus Fathur? Ck, bingung rasanya. Baca, gak. Baca, gak. Baca? Oke, fiks! Baca. Lantas aku membuka isi pesan chat dari Gus Fathur ini.

[Maaf, Yumna. Saya gak bermaksud buat ngasih harapan palsu sama kamu. Tapi, sejujurnya pernikahan ini atas paksaan dari Pak kyai dan Bu nyai, orang tua saya. Maaf.]

Seketika air mataku mengalir deras dari kelopak mata ini. Paksaan orang tua? Hal yang sangat mustahil untuk dielakkan. Lantaran, pilihan orang tua biasanya terbaik untuk sang anak. Yaudah, apa boleh buat. Lebih baik, aku pasrah saja. Biarlah takdir sang Kholiq yang menentukan.

[Gak papa, Gus. Saya merelakan Gus dengan siapa saja. Mungkin, bukan jodoh.] Tak terasa air mataku tumpah seketika, saat membalas pesan dari Gus Fathur.

Lalu kulanjutkan, [Hanya Allah yang berhak menentukan jodoh. Bukan, ciptaan-Nya.]

Barusan aku kirim, pesan sudah terbaca langsung. Kini dirinya mulai mengetik balasanku tadi.

Ting!

[Syukron, atas semua waktu yang kamu berikan saat masih menjadi seorang santriwati. Saya, memendam perasaan ini sudah lama untuk kamu. Tapi, nyatanya realita tak seindah ekspetasi, haha.]

Deg!

Kubaca pesan itu berkali-kali. Aku tak mengira diam-diam dirimu memendam rasa padaku, Gus. Air mataku kembali deras mengucur. Tak dapat kutahan lagi. Dada ini rasanya sesak setiap membaca rentetan kata-kata yang diketik oleh jari-jemari Gus Fathur. Sakit, tapi tak berdarah.

Untuk yang kesekian kali, kembali kubalas pesan darinya.

[Gus, jujur! Saya sejujurnya juga menyimpan rasa pada Gus. Maaf, baru ngasih tau.]

Ting!

[Gak papa. Cinta tak harus memiliki, tapi harus dimiliki.] Diselipkan emoticon senyum di ujung kalimat.

Aku hanya mampu tersenyum getir membaca balasan darinya. Benar sekali, cinta itu harus dimiliki. Aku paham kata pepatah itu. Aku lantas mengusap air mataku.

Kembali menggerakkan jempol untuk membalas pesan darinya.

[Gus, boleh saya tanya satu hal?]

Aku penasaran. Siapa calon istrinya itu?

Ting!

[Ya, silahkan, Yumna.]

[Siapa calon istri Gus?]

Barusan aku kirim sudah dibacanya. Namun, tak secepat waktu dia membalas pesan tadi. Aku menunggu balasan darinya. Tapi, tetap saja tak ada pemberitahuan ‘sedang mengetik’ setelah tanda dua centang biru.

Hingga, tak lama.

Ting!

Suara notifikasi pesan masuk dari Gus Fathur berbunyi. Cepat-cepat kubuka isi pesan darinya. Rasanya penasaran. Siapa sih, calon istri Gus?

[Calon istri saya, adiknya Ustadzah Arsya. Seorang ustadzah muda yang satu tahun lebih tua dari kamu, Yumna. Namanya, Hana Aulia.]

Hana Aulia? Jadi, itu nama calon istrinya. Nama yang bagus. Pasti orangnya cantik. Apalagi dia seorang ustadzah muda. Sedangkan aku? Hanya seorang gadis muda yang baru saja lulus mondok.

“Tapi 'kan, bentar lagi juga bakalan jadi Ustadzah?” Aku bergumam sendiri. Lalu, kembali menatap balasan dari Gus Fathur.

Kembali aku menangis sejadi-jadinya. Menumpahkan segala kesedihan dan rasa sakit yang ada. Hatiku rasanya hancur laksana pot yang pecah berkeping-keping. Tak dapat dikembalikan seperti semula lagi.

Ganteng tapi Kejam✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang