Mataku masih melihat sosok gadis cantik yang bantuin Ambu metik tomat. Kata Ambu, dia anaknya Pak Kevin, sahabat Ayah yang sukses di Jakarta. Bahkan kebun yang selama ini dirawat keluargaku, adalah milik Pak Kevin. Pak Kevin nyuruh Ayah nyembangin usahanya, makanya kebun ini ditanami sayuran dan di kirim ke pasar-pasar desa terdekat. Kebetulan aku juga nggak punya kerjaan, jadinya ikut ngerawat kebun sambil nganter sayuran ke pasar-pasar.
Namanya Kinanti, dia cantik, bener-bener cantik. Aku belum pernah melihat gadis secantik dia. Meskipun dari tingkahnya seperti anak kota yang sedikit nakal, tapi Kinanti punya sikap sopan santun ke orang yang lebih tua.
Kedatangan Kinanti jadi omongan semua warga desa. Semua orang seakan terpesona sama sosok dara cantik itu, apalagi Ambu. Ambu yang sejak dulu pingin anak perempuan, justru bahagia dengan kehadiran Kinanti. Uwa Arin kemarin bilang, kalau pagi Kinanti bakalan bantuin di kebun, karena Uwa Arin juga harus ngajar di SD sampai jam sebelas siang. Uwa Arin nggak mau Kinanti sampai kesepian, karena Surya juga kerja di kantor Desa.
"Kaf, ini tomatnya lo timbang dulu." Kinanti ngasih sekeranjang tomat yang baru dia petik. Aku kira, dia nggak akan kuat, tapi ternyata kuat juga. "Habis ini langsung dianter ke pasar?"
"Kalo tomat teh diambil sama yang biasa jualan keliling."
"Ada yang jualan keliling juga?"
"Adalah, orang-orang sini mah belinya ya dipenjual keliling, soalnya pasarnya teh jauh pisan."
"Kok nggak ada yang buka warung aja sih? Terus ngambilnya di elo gitu."
"Penjual sini sukanya keliling, katanya kalo buka warung banyak saingannya."
"Kolot banget sih pikirannya!"
"Dulu teh aku mikirnya gitu pisan. Tapi pemikiran orang mah beda-beda atuh."
Kinanti akhirnya diam saja dan membantuku untuk menimbang tomat-toman yang tadi dia petik, lalu memasukkan ke keranjang khusus untuk tomat. Dia kembali lagi bersama Ambu, katanya Kinanti pingin camilan, jadi Ambu ambil beberapa brokoli putih dan dibawa ke dalam rumah.
Telingaku mendengar suara gaduh dari arah dapur yang ternyata ada Kinanti dan Ambu yang asik memasak. Gak tau apa yang mereka masak, tapi tangan Kinanti penuh dengan tepung. Aku ambil segelas air karena haus, setelah ngangkat barang-barang dan dinaikkan ke atas pick up.
Sekilas aku melihat Kinanti seperti orang kesusahan, dimana dia sibuk memasukkan brokoli dengan tepung kering tapi rambutnya yang terurai seakan mengganggu. Akhirnya, aku punya inisiatif untuk menyingkirkan rambutnya yang mengganggu dan mengumpulkannya jadi satu. Kinanti nampak terkejut dengan apa yang aku lakukan.
"Lanjutin aja, rambut kamu biar aku pegangin."
"Gue bawa jepit, ada di kantor jaket sebelah kanan, ambilin dong!" Sebenarnya aku ragu mau mengambilnya, tapi akhirnya aku menganggukkan kepala dan mengambil jepit yang dimaksud Kinanti.
"Aya naon, Kaf?"
"Ini rambutnya Kinan berantakan, Ambu." Ambu kaget ngelihat aku pegang rambutnya Kinanti. Tadi Ambu pamit ke belakang, ngambil cabai.
"Ooohh," Ambu ngangguk aja kepalanya.
"Ini dijepit gini aja?" Tanyaku pada Kinanti.
"Iya, emang kenapa?"
"Kirain mau disanggul sekalian, hehehe."
"Gue mau masak, bukan mau nyinden!" Ketusnya membuatku tertawa. Kalo jutek, wajahnya gemesin banget. Dia bisa imut dan galak saat bersamaan.

KAMU SEDANG MEMBACA
EDELWEIS
FanfictionKinanti harus menerima kenyataan bahwa perusahaan milik orangtuanya gulung tikar. Dia yang selama ini tidak tau apa-apa tentang perusahaan dan hanya berfoya-foya saja, terpaksa menjalani hidup sederhana bersama sahabat Papanya di desa. Akankah Kinan...