Sejak tadi Kinanti hanya diam, tapi tetap merespon kalau diajak bicara. Badannya disini tapi pikirannya kemana-mana. Aku teh bukan cenayang, mana bisa baca pikiran orang. Pandangan Kinanti menerawang seakan ada beban yang dia rasakan. Kalau begini, aku rasanya gak tega buat ninggalin Kinanti. Bukan apa-apa, takut kalau gak ada tempat buat dia curhat. Surya mah gak udah diandalkan, dia teh waktunya habis sama Ziha. Pulang ngajar ngaji juga ngapel ke tempat Ziha. Padahal di kantor udah sering ketemu, masih aja gak puas. Uwa' Arin aja sampai khawatir Surya sering ngapel ke Ziha, takut jadi omongan para tetangga disana.
Selama di kebun teh, kita jalan-jalan aja menikmati pemandangan. Asik foto-fotoan juga, Kinanti yang biasanya ceria mendadak diam. Diajak foto senyumnya gak se-lebar biasanya. Aku gak tau apa yang pikirkan, padahal tadi dia baik-baik aja.
Bentar....
Kalo besok kamu kerja kira-kira kita masih bisa gak ya jalan-jalan kayak gini?
Astaga...
Jangan-jangan...
Akhirnya aku langsung narik Kinanti agak terpisah sama Surya dan Ziha. Aku harus membicarakan ini sama dia. Aku gak mau Kinanti berpikir yang aneh-aneh. Sampai akhirnya kita agak menjauh dari banyak orng, meskipun masih di kebun teh, aku berhenti dan menatapnya.
"Kamu kenapa, Kinan?" Aku bertanya dengan pelan dan mencoba menarik perhatiannya. "Kamu mikir apa sebenarnya?" Kinanti agak menghela nafas dan kembali membuang muka. "Lihat aku!" Aku menarik dagunya dan aku melihat matanya. "Kamu kenapa? Mikirin apa?"
"Gak apa-apa."
"Kata lain dari gak apa-apa itu 'aku kenapa-napa'. Jadi, kamu kenapa?" Dia masih diam gak merespon. "Kinan?" Dia menghela nafas lagi. "Kamu takut kita gak bisa jalan-jalan kayak gini lagi?"
Dia diam dan artinya adalah iya.
"Kinan, dengerin aku." Aku memegang bahunya dan meminta dia menatapku. "Aku janji, kalau nanti aku libur, aku pasti ajak kamu jalan-jalan."
"Beneran?" Tanya dia gak yakin.
"Iya, janji." Kataku meyakinkan. "Kenapa kamu khawatir gak bisa jalan-jalan sama aku?"
"Ya sapa tau, udah nemu yang lebih cantik jadi lupa buat ngajak aku jalan-jalan." Aku terkejut, tentu saja. Bahkan dalam mimpi aja gak ada untuk melakukan hal nista seperti itu. "Soalnya dulu mantan aku 'kan begitu."
"Aku bukan mantan kamu, Ki."
"Emang! Pacaran aja gak, kok ngomong mantan."
"Kamu tau bukan itu maksud aku."
"Namanya juga trauma, wajar dong. Secara nanti kamu kerjanya ketemu banyak orang—"
Aku gak tau apa tindakanku ini termasuk lancang atau gak. Karena aku benar-benar gemas dengan mulut Kinanti yang bicara ngawur. Sebelum di melanjutkan kata-katanya, aku menghentikannya dengan mencium bibirnya. Melumatnya dengan segenap cinta yang aku punya. Sudah aku bilang bukan, kalau bibir Kinanti ini bagai sebuah candu untukku. Bibirnya begitu manis dan memabukkan. Apalagi saat Kinanti membalas ciumanku, rasanya aku benar-benar tidak ingin berhenti. Ketika dia meremas rambut belakangku, aku semakin memperdalam ciuman kami. Bahkan suara erangan Kinanti semakin membakar nafsu dalam diriku. Hingga aku merasakan oksigen semakin menipis pada paru-paru kami, barulah aku melepas pagutan ini. Menatap matanya sambil tersenyum, aku mencium keningnya dengan sayang, seakan memberitahunya bahwa aku mencintainya.
"Masinis kerjanya di kepala gerbong, mengemudi kereta, jadi aku gak mungkin jalan-jalan ke gerbong penumpang." Aku mencoba memberi dia penjelasan.
"Tapi disitu ada pramugarinya 'kan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
EDELWEIS
FanfictionKinanti harus menerima kenyataan bahwa perusahaan milik orangtuanya gulung tikar. Dia yang selama ini tidak tau apa-apa tentang perusahaan dan hanya berfoya-foya saja, terpaksa menjalani hidup sederhana bersama sahabat Papanya di desa. Akankah Kinan...