3. Pikiranku terpacu dengan bayangnya

90 34 1
                                    

Saat di Cafe.

"Woy, harusnya yang pindah itu Abang lu, si Arkana itu." teriak Anggi sambil menggebrak meja. Ia sudah tahu sedikit cerita tentangku.

"Santai dong gi, santai ngomongnya. Jangan gebrak meja gitu, malu sama yang lain." sahut Ratih. 

"Emosi gua dengar cerita si Manda. Yang bayar kehidupan keluarga dia dan lainnya itu kan Amanda. Kenapa si Arkana berani-beraninya suruh lu yang pindah. Dia aja yang pindah, jangan lu! Suruh si pengangguran itu yang pindah sama istrinya. Biar dia mikir, jangan mau enaknya aja. Hidup masih numpang juga. Ga malu apa ya sama orang lain. Lagian juga nih ya, rumah itu kan di beli atas nama lu. Lu jangan takut nda sama dia. Kalau di hukum, lu pasti berhak untuk tinggal di rumah itu." 

Aku hanya bisa mendengar perkataan Anggi sambil menikmati kopi hitam.

"Rumah ya. Sebenarnya Rumah itu atas nama Abang gua." sahutku.

"Hah? Apa? Gua ga salah dengarkan?" tanya Anggi. Mata Anggi terbelalak mendengar ucapanku. 

"Iya, rumah itu atas nama Abang gua. Lu ga salah dengar ko nggi." jawabku dengan nada pelan.

"Tapi kan yang bayar cicilan pas orang tua lu ambil rumah itu lu. Bukan si pengangguran yang brengsek itu. Lu yang bayarkan? Lu sampai menghabiskan tabungan lu demi membayar DP rumah itu. Gua sebel banget sama Abang lu, ssumpah Amanda! Dia ga punya muka atau gimana sih?" 

"Lu ga tau apa-apa soal rumah itu nggi. Waktu dia ambil rumah itu, lu lagi ada di Bali. Sekarang itu ya rata-rata nih ya, ketika orang tua mereka beli rumah. Pasti rumahnya akan di berikan atau atas nama  anak pertamanya. Jadi anak keduanya ga bisa mengganggu anak pertama." sahut Ratih sambil makan cemilan.

"Aishh, pikiran darimana sih yang seperti itu. Kuno banget pemikirannya." 

"Entahlah, gua juga ga tau. Yang jelas begitu aja. Soalnya waktu bibi gua ambil rumah juga, rumahnya atas nama anak pertamanya." 

"Amanda! Lu juga harus hamil. Malam ini kita harus bikin Amanda hamil. Ayo kita ke diskotik. Lu harus hamil sekarang juga! Biar bisa membuktikan ke orang tua lu, kalau lu juga berhak mendapatkan rumah itu." teriak Anggi yang menjadi pusat perhatian orang.

"Baiklah, ayo! Yang seperti ini gua semakin semangat." sahut Ratih.

"Bukan lu Ratih! Tapi Amanda." 

"Gua mewakili Amanda." 

Aku kemudian mengingat gerakan setiap gerakan yang dilakukan Abangku. Semuanya itu masih terlihat jelas di pikiranku.

"Arrgghhh!! Tunggu sebentar dulu deh. Kalian bisa ga sih, jangan bahas yang seperti itu, gua jijik banget bayanginnya. Sumpah masih ada di bayangan gua. Pengen muntah gua." ucapku sambil memegang kepalaku. 

"Lu kenapa?" tanya Ratih.

"Hmm, sejujurnya gu-gua lihat detail setiap gerakan yang dilakukan Abang gua sama si perempuan itu." 

"Hah?" ucap kedua temanku yang sepertinya tidak percaya mendengarnya. 

"Makanya, karena gua udah lihat mereka. Jadi gua lebih baik untuk tidak tinggal serumah sama mereka. Yang ada setiap lihat muka mereka berdua gua rasanya pengen mual." 

"Ko bisa lu lihat? Coba ceritain ke kita. Gimana kronologinya." sahut Anggi. Aku kemudian menjelaskan panjang lebar kepada mereka awal mulanya seperti apa. 

"Aishh, gagah juga ya Abang lu nda. Bisa selama itu mainnya." ucap Ratih.

"Bodoh! Lu ngapain ngbayangin! Kita ini ada di pihak Amanda. Bukan di pihak laki-laki pengangguran itu!" sahut Anggi sambil menarik telinga Ratih.

"Aw aw aw, sakit tau nggi telinga gua." 

"Ya lagian lu, malah membayangkan." 

"Kalian ko malah ribut. Bukannya bantuin gua cari solusinya." sahutku.

"Sebenarnya kita ga ribut nda. Cuman si Ratih ini yang otaknya lumayan kopong. Jadi bikin emosi gua." 

"Otak gua ga kopong Anggi." sahut Ratih.

"Alahh, sama aja."

"Terus gimana Amanda? Lu masih mau keluar dari rumah itu atau lu masih mau bertahan di rumah itu?" tanya Ratih.

Housemate Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang