Bagian 16

5K 217 58
                                    

“Apa maksudmu dia pergi?! Yoga berteriak marah saat kembali kerumah sakit setengah jam kemudian.

                “Dengar, Yoga. Jangan berteriak teriak disini,” sahut Edwin kaku. “Aku tidak tahu apa yang telah terjadi antara kau dan Astrid. Tapi yang jelas aku tidak akan memaafkanmu jika sekali saja kau melukainya.”

                “Apa aku kelihatan sedang ingin melukainya?! Sebaiknya kau segera memberitahuku dimana dia.”

                “Astrid bilang tidak ingin bertemu denganmu lagi, selamanya.”

                “Apa?! Wajah Yoga memucat. Lama pria itu terpana ditempatnya. “Kau berbohong padaku? Kau tidak pernah menyukaiku. Jadi sekarang kau berusaha mencegahku untuk bertemu dengan sepupumu itu. Asal kau tau saja. . . “

                “Aku memang tidak menyukaimu. Tapi aku bukan pengecut yang harus berbohong hanya untuk menyelamatkan saudaraku. Kalau aku ingin Astrid tidak bertemu denganmu, aku sudah akan melarangnya sejak ia memutuskan untuk bekerja padamu. Oh, asal kau tahu. Saat itu aku sudah melarangnya. Tapi dia sendiri yang keras kepala.”

                “Tapi kenapa?” tanya Yoga seolah pada dirinya sendiri. “Kau tahu dimana dia?”

                “Dia hanya meminta kartu kreditku dan berjanji akan secepatnya memberi kabar. Tapi selebihnya dia tidak member tahu akan ke mana.”

                “Sial. Astrid, kenapa kau lakukan ini padaku?” Yoga menatap Edwin tajam. “Dengar, aku tahu kau membohongiku. Tapi aku akan menemukan Astrrid dimana pun dia berada.”

                Setelah berkata, Yoga pun berlalu. Dia tidak tahu kemana akan mencari, tapi ia hanya tahu satu hal. Ia harus menemukan Astrid.

                Edwin hanya memndangi Yoga, bertanya tanya kenapa pria itu mendadak seolah kehilangan pegangan hidup.

                “Dokter Edwin. Ini hasil tes Ibu Astrid Subandono.”

                Edwin mengucapkan terima kasih sambil lalu pada perawat itu. Masih sambil memperhatikan Yoga, Edwin mulai membuka map di tangannya. Baru saat Yoga menghilang dibalik pintu rumah sakit, ia mulai membaca hasil tes itu.

                Edwin mengerjap, matanya berlahan melebar sebelum mamaki dan berlari menyusul Yoga. Dari mulutnya, keluar semua sumpah serapah dan makian yang membuat beberapa perawat yang berpapasan dengannya terkesiap.

                Edwin berhasil menyusul Yoga tepat ketika pria itu akan memasuki mobilnya.

                “Tunggu!” teriaknya.

                Yoga memutar tubuhnya. Ketegangan tampak masih menyelimuti wajahnya. “Apa kau memutuskan untuk memberitahuku dimana aku bisa mnemukan Astrid?”

                “Tidak! Eswin melangkah maju dengan pasti, mendekati Yoga berdiri. “Aku memutuskan untuk menghajarmu!”

                Yoga tak sempat berbuat apapun. Sebuah bogem mentah seketika itu juga bersarang dirahangnya bahkan sebelum ia semapt menyadari apa yang akan dilakukan Edwin. Tubuhnya terhuyung menimpa mobilnya sendiri.

                “Apa yang kau lakukan?!” serunya marah.

                “Ayo bangun! Sebenarnya aku selalu ingin melakukan ini sejak dulu setiap melihat sikapmu pada Astrid. Dan sekarang aku akan memuaskan diriku sendiri. Bangun bajingan!” teriak Edwin, tidak memperdulikan beberapa orang yang mulai berkerumun terbengong bengong menyaksikan dokter yang selama ini penuh perhatian pada pasiennya menghajar orang di pelataran rumah sakytnya sendiri.

                Yoga berlahan bangkit, siap siap untuk melawan Edwin. Tapi sebelum ia benar benar siap, Edwin lagi lagi melayangkan bogem keduanya. Kali ini mengenai pipiya. “Ganjaran ini bahkan tidak cukup untuk menebus dosa dosa yang telah kau lakukan pada Astrid.”

                Yoga mengusap pipinya yang panas.

                “Sebenarnya ada apa?! Bentaknya, dengan kegesitan seorang petarung, Yoga bangun dan membalas menendang tepat di perut Edwin hingga dokter it  terjajar beberapa langkah kebelakang. Orang orang menjerit, tapi tak satu pun diantara mereka yang berani ikiut campur.

                Edwin meringis memegang perutnya yang terasa pedih.

                “Sekarang katakanada apa!”

                “Akulah yang seharsnya tanya padamu brengsek! Apa yang telah kaulakukan pada Astrid, hah?!”

                “Spesifiklah, dokter. Seingatku, akhir akhir ini aku sama sekali tidak menyakitinya. Hal ini bahkan tidak pernah terpikir olehku.”

                “Tapi kau menghamiliya!” teriak Edwin diluar kendalinya.

                Suasan hening. Yoga terdiam ditempatnya, matanya membelalak menatap Edwin beberapa lama.

                “Kau yakin dia hamil?” tenyaynya beberapa lama kemudian, dengan suara yang nyaris gemetar.

                “Brengsek. Benarkah? Aku sudah menduga kau pelakunya.”

                “Katakan. Apa benar dia hamil?!desak Yoga.

                “Tentu saja, idiot.” Edwin masih meringis memegangi perutnya. Tapi matanya tetap menatap tajam pada lawannya.

                “Kau pikir aku main main saja jadi dokter?”

                Yoga megusp wajahnya, perlahan wajahnya memerah sebelum kedua sudut bibirnya terangkat naik dan pria itu mulai tertawa. Perlaan dan kemudian semakin keras sampai terbahak bahak.

                Edwin memandang Yoga bingung. Dengan tersinggung ia maju selangkah lagi, siap menghajar Yoga kembali. “Kau pikir aku bergurau? Aku sudah punya firasat jelek saat anak itu bekerja untkmu!”

                “Tunggu, tunggu dulu!” Yoga mengangkat tangannya membuat tanda menyerah. “Justru sebaliknya, aku percaya padamu.” Tanpa terduga, Yoga mendekati Edwin dan memeluk pria itu erat erat. “Terima kasih. Aku akan berhutang padamu seumur hidupku. Kau membuat hidupku bahagia, sobat.”

                Edwin kebingungan ditempatnya, memandang Yoga yang terbur buru meninggalkan dan memacu mobilnya dengan kecepatan tinggi.

                “Apa?”

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 23, 2014 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

CINTA SANG DARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang