Kali terakhir Wooyeon mengunjungi kafe ini seluruh sofa masih dilapisi kulit berwarna kuning menyala, lengkap dengan tempelan stiker merah muda yang mulai pudar. Sejauh mata memandang hiasan dinding warna-warni sudah banyak yang diturunkan, seingatnya ada satu, dua bingkai lukisan suasana kota di musim panas digantung dekat pintu. Beberapa sudut sekarang juga telah diisi oleh figur-figur berbulu menggemaskan yang berhasil membuat gadis itu teringat akan Kijeong. Barangkali karena musim nyaris berganti, kini beberapa furnitur sudah banyak dihiasi oleh warna-warna yang lebih hangat, dan menenangkan.
Ah ... suasana baru ini membuat rindu Song Wooyeon pada sang kekasih kian terasa menggebu.
Kafe pagi itu belum begitu ramai. Hanya ada segerombol gadis yang berisik; oleh kikik tawa di sela-sela gosip, serta sepasang muda-mudi berseragam—yang lebih hening dan lebih senang berbisik—tepat di meja seberang.
“Kenapa semuanya seperti mengingatkanku pada Kijeong hngg ...”gumam Wooyeon, tak mampu menahan senyumnya untuk tidak mengembang. Dengung suara musik akustik; yang seharusnya menemani dan memberikan kenyamanan justru memperparah jantung sang puan yang berdegub kencang.
“Mungkin karena sudah betul-betul rindu ya,” Semburat merah jambu lamat-lamat tampak memulas manis sisi-sisi pipi gadis Song, hanya dengan memikirkan bila dalam hitungan menit ia akan bertemu si pujaan hati—setelah sekian lama mereka tak bertemu.
Gadis itu masih setengah melamun sembari—tanpa sadar—memaku pandang pada pasangan yang sama, ketika teriakan Kijeong tiba-tiba menyapa. Menyerukan namanya, menyita perhatian tak hanya Wooyeon, namun juga oleh seisi kafe.
‘Wooyeon!’
Mungkin akan terdengar sedikit berlebihan, tapi bagi gadis itu kedatangan Kijeong seakan-akan selalu diikuti oleh embus angin sejuk usai gerimis. Hanya dengan melihatnya, rasa nyaman yang tak ia dapat sejak duduk di sana tahu-tahu sudah berada dalam genggaman.
Seperti halnya siang itu.
Dengan kuasa kanan yang terangkat tinggi, Wooyeon baru akan melambai riang pada sang wira kala sosok tak asing yang tengah melangkah santai tak jauh di belakang Kijeong menahannya.
Byun Taeson?
Alisnya naik membentuk lengkung sempurna sementara bilah bibir mungil itu membulat penuh heran, “Sssstt Kijeong jang—loh kok?”
Bersama Taeson?
Memang tidak sampai terucap, tetapi tanda tanya besar bagai tercetak tegas pada raut muka sang dara. Selagi menunggu salah satu dari dua pria tersebut angkat bicara, ia menatap kekasihnya kebingungan; mencari jawaban.
***
Byun Taeson melangkah dengan mantap menuju ke arah Wooyeon. Ia melambaikan tangan seraya tersenyum ke arah sang puan untuk menyapa. Merasa mendapatkan tatapan aneh dari kekasih Kijeong tersebut, Taeson lantas berucap dengan senyum tipis menghias wajah. "Kau terkejut, ya?" tanya sang taruna sebelum melanjutkan perkataan. "Maaf menganggu kencan kalian berdua. Aku terpaksa ikut kemari karena tidak ingin Kijeong kembali berulah," ujar Taeson seraya melirik tajam ke arah rekannya. Ia tidak ingin kembali lembur karena mengatasi masalah yang disebabkan oleh perilaku Kijeong.
Ekspesi wajah segera berubah ketika mata mengalihkan atensi. Kini, ia memandang Wooyeon dengan senyum manis andalan; berusaha memberi kesan ramah kepada penyandang marga Song. "Hei, tenang saja. Aku hanya ingin menemani Kijeong kok. Jangan merasa terganggu ya, Wooyeon. Anggap saja aku sebagai pohon atau orang asing!" Byun Taeson menatap lawan bicara untuk menyakinkannya. Lagipula, ia benar-benar tidak tertarik dengan percakapan ataupun tindakan apapun dari kedua sejoli tersebut. Taeson hanya ingin mengawasi Kijeong agar tidak lagi membuat masalah yang akan berdampak bagi karir sang artis dan juga karirnya—Taeson tak ingin kehilangan pekerjaan sebagai seorang manajer.
KAMU SEDANG MEMBACA
Spirit On You!
FanfictionYeom Sera (염세라), seorang mahasiswi yang baru saja pulang dari Jerman hendak kembali ke Korea Selatan untuk kembali belajar di negaranya sesuai perintah sang ayah. Suatu hari, Sera bertemu dengan Byun Taeson (변태선), orang yang menyukainya sejak dua ta...