bagian satu➖01

466 54 2
                                    

“Harin” suara kak Soojin memanggilku. Aku menebak dia sekarang ada diruang tengah sambil memakan sarapannya.

Aku keluar setelah selesai menguncir kuda rambutku dan mendapati apa yang sudah aku tebak sebelumnya.

“susu?” tawarnya sambil mengangkat gelas nya. Aku hanya mengangguk sambil tersenyum.

Minum susu dan sarapan dengan roti selai kacang adalah rutinitas yang tidak bisa kak Soojin lewatkan setiap pagi. Aku selalu berpikir bahwa susu itu hanya untuk anak-anak. Tidak ada orang dewasa yang akan menyukai susu seperti itu. Tapi persepsi itu berubah setelah aku melihat kak Soojin. Dia benar-benar sangat menyukai susu.

Dia akan selalu bangun pagi sekali entah ada atau tidak mata kuliah yang harus ia hadiri hari itu ia akan tetap bangun. Lalu mulai membuat segelas susu dan mengeluarkan beberapa potong roti dan membawanya ke ruang tengah.

Kepribadiannya sangat bertolak belakang dengan penampilannya kurasa. Mengingat dia adalah seorang DJ, penampilannya selalu terlihat mencolok seperti menggambarkan dia adalah perempuan yang sexy yang selalu menjaga pola makan, cuek, sangar atau semacamnya. Nyatanya saat tidak bekerja kak Soojin hanyalah perempuan kuliahan biasa yang sangat menyukai junkfood dan hal random lainnya.

“tidak ada kelas?” aku bertanya. Kak Soojin menggeleng. Aku mengerutkan keningku bingung. Apakah itu jawaban Ya atau Tidak.

Dia terlihat sadar dan menjawab kembali. “ada, kelas siang. San akan menjemput, tenang saja. Aku tidak akan bolos hari ini, Harin” ucapnya sambil tertawa.

Aku penasaran bagaimana kak San bisa pacarannya dengannya. Mungkin aku akan menanyakan hal ini nanti, pada salah satu dari mereka.

Setelah percakapan singkat dengan kak Soojin aku langsung pamit untuk berangkat kuliah.

Senin selalu padat mengingat semua orang pasti akan memulai kembali kegiatan setelah libur dihari weekend kemarin.

Aku memilih naik kendaraan umum karena aku tidak ingin selalu merepotkan kak San. Dia selalu bilang bahwa aku bisa menelponnya kapan saja jika aku butuh tumpangan ke kampus atau ke manapun.

Selain merasa tidak ingin merepotkannya terus aku juga benar-benar merasa tidak enak dengan pacarnya.

Kak Soojin mungkin baik-baik saja diluar saat kak San memilih untuk menumpangiku dahulu sebelum akhirnya kembali untuk menjemput kak Soojin.

Tapi mungkin saja sebenarnya kak Soojin merasa kesal, atau mungkin cemburu. Aku tidak bermaksud berpikiran buruk terhadapnya. Tapi siapa yang tahu isi hati seseorang kan.

Mungkin saja selama seminggu lebih ini kak Soojin masih menahan semuanya. Ditambah aku juga masih tinggal dirumah kak Soojin yang mana bisa saja saat ia sudah hilang kesabaran ia bisa mengusirku saat itu juga. Tidak bisa kubayangkan aku akan hidup dijalanan setelah ini.

Aku menggeleng menepis semua pikiran bodoh itu. Tentu saja kak San tidak akan membiarkan ku tinggal dijalanan. Ibunya sudah beberapa kali bahkan mungkin beratus kali mengingatkannya untuk selalu menjagaku.

Aku beruntung karena mempunyai bibi Choi selama ini.

“hai...” sebuah suara meleburkan lamunanku. Aku menoleh dan mendapati Soobin.

“hai” aku balik menyapa sambil tersenyum. “ada kelas pagi?” aku bertanya.

Soobin terlihat melirik jam tangannya, “tidak terlalu pagi, masih 2 jam lagi, tapi aku harus ke perpustakaan dulu” ia menjawab dan aku mengangguk.

“kalau begitu sampai jumpa, karena kelasku akan dimulai sebentar lagi” aku pamit dan meninggalkannya.

Soobin nampak melambai sebelum akhirnya berbalik pergi.

Aku senang saat mengetahui bahwa Soobin juga ada disatu universitas yang sama denganku. Meski kami beda fakultas, itu tidak masalah. Kami masih sering bertemu meski hanya berpapasan atau secara tidak sengaja berada dikantin yang sama.

Tidak heran aku bisa bertemu dengannya di sini mengingat UI adalah universitas yang besar dan sudah berskala internasional, siapa yang tidak tahu dengan semua fasilitas yang ada disini. Ditambah, aku juga tidak mungkin lupa saat SMA Soobin adalah salah satu siswa yang pandai dikelas.

Aku juga sempat melihat Beomgyu kemarin saat diparkiran. Tapi, kami tidak saling menegur karena memang saat SMA pun hanya sekedar saling lempar senyum canggung saat berpapasan, kami juga tidak satu kelas dulu.

Sampai hari ini, aku masih belum bertemu Mia. Jelas itu berarti kami tidak satu jurusan atau satu fakultas. Dan itu bagus.

Sebenarnya, aku sedikit merindukannya. Maksudku, yah...aku rindu ingin mengobrol dengannya. Kami sudah bertemam bertahun-tahun. Tapi aku terlalu kecewa dengannya karena taruhan itu.

Aku juga tidak bisa bertemu dengannya meski aku ingin. Mungkin tidak sekarang, aku akan menemuinya, pasti.

Aku harus karena aku juga perlu membahas sesuatu dengannya dan menitipkan satu kotak penuh yang berisi barang-barang yang dulu Renjun pernah berikan padaku.

Aku sudah menyisihkan semuanya untuk aku kembalikan. Bahkan ponsel baru yang sempat ia berikan dulu juga akan ku kembalikan. Aku juga meninggalkan sedikit uang untuk mengganti biaya perbaikan ponsel lamaku dulu yang sempat ia perbaiki.

Aku tidak bisa mengembalikannya secara langsung karena aku tidak mau bertemu dengannya lagi. Aku pernah beberapa kali mengirim barang-barang itu kealamat Renjun, tapi selalu berakhir kembali didepan pintu asrama.

Kurirnya selalu bilang bahwa alamat yang ditujukan salah.

Aku tahu mereka berbohong. Tapi aku memilih mengabaikannya dan memutuskan untuk menitipkannya pada Mia nantinya.

Kelas hari ini berlalu dengan cepat. Aku sudah menghadiri semua mata kuliah hari ini dan bersiap untuk pulang.

Tapi sebelumnya aku memutuskan singgah ke kedai untuk sekedar membeli minuman untuk menyegarkanku siang ini.

“bisakah aku mendapatkan.....”

“diam, Jongho! Berhenti bernyanyi”

Satu suara yang berhasil membuatku menoleh sebelum aku selesai meminta pesananku.

Suara tawa dan umpatan disertai bunyi lonceng yang menandakan bahwa seseorang baru saja masuk ke kedai membuatku menegang.

Kebetulan macam apa ini.

“permisi?” seru perempuan yang ada dibalik counter tersebut.

Aku mengubrisnya. Masih menatap sekumpulan mahasiswa atau aku tidak tahu harus mengatakan apakah mereka kuliah atau tidak yang jelas mataku tidak bisa berpaling dari mereka.

Tidak ada sadar diantara mereka sampai perempuan yang ada dibalik counter kembali memanggilku sedikit lebih nyaring.

Semuanya menoleh dan aku berbalik, menatap perempuan itu dengan senyum canggung.

“ah, maafkan saya. Permisi saya harus pergi” aku berucap.

Aku harus pergi dari sini. Aku berjalan melewati sekumpulan mereka dengan menunduk. Mungkin itu percuma karena mereka tentu saja sudah melihatku sebelumnya.

“oh, dia.........”

Aku mendengar salah satu dari mereka bereaksi saat aku lewat, tapi aku mengabaikannya dan memilih cepat keluar dan berlari.

“bukankah dia Oh Harin?” tanya Hyunsuk.

[s2]A Whole New WorldTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang