bagian enam➖06

266 44 3
                                    


Aku gelisah sambil mondar mandir didepan pintu rumah.

Menyesali perbuatanku yang dengan bodohnya menerima Renjun kembali dan membiarkannya menjadi tamu dirumah ini.

Bagaimana bisa aku sebodoh ini.

Kepanikanku semakin tinggi saat mendengar suara mobil berhenti tepat didepan rumah kak Soojin.

Astaga, bagaimana ini? Apa yang harus aku lakukan?

Aku mengintip dibalik gorden memastikan aku tidak salah orang sebelum akhirnya membuka pintu.

Renjun berdiri tepat didepanku.

“hai...” sapa Renjun kaku.

Aku ingin tertawa tapi aku menahannya. Kenapa ekspresi wajahnya terlihat tegang seperti itu.

“masuklah!” titahku sebelum akhirnya menutup pintu.

Aku mempersilahkannya duduk disofa ruang tengah.

“kau ingin minum apa?” tanyaku dingin. Kenapa aku kekanakan sekali, kenapa aku bersikap dingin padanya? Kepalaku tiba-tiba saja pusing. Bolehkah aku menyuruhnya pulang sekarang juga?

“tidak perlu, aku tidak haus” ucapnya datar. Matanya tidak berhenti menatap kearahku. Dia terus menatapku yang masih berdiri jauh darinya.

Apa yang salah?

Apakah karena pakaianku? Karena aku hanya memakai baju kaus dan celana tidur pendek andalanku lengkap dengan rambutku yang digelung asal?

Apakah ia akan kembali mengejekku? Mengomentari penampilanku seperti pertama kalinya?

“bagaimana dengan makanan?”

“aku merindukanmu” ujar Renjun tiba-tiba. Wajahnya yang dingin berubah menjadi lebih serius. Tatapan matanya seolah berusaha menjelaskan bahwa ia serius dengan perkataannya.

Aku diam, tidak merespon sama sekali. Tidak tahu harus menjawab bagaimana karena aku benar-benar bingung.

Aku merindukannya tapi disatu sisi aku susah tidak percaya dengan apa yang ia katakan.

“kalau begitu akan ku ambilkan air putih” ucapku sambil meninggalkannya diruang tengah.

Didapur aku menarik nafas dalam-dalam. Meyakinkan semua akan baik-baik saja. Aku harus tetap pada pendirianku. Dia sudah menyakitiku, aku tidak boleh terlihat rentan didepannya.

Aku membuka kulkas dan mengambil satu botol air dingin, berbalik dan betapa terkejutnya aku mendapati Renjun sudah berdiri dibelakangku.

“ya tuhan, kau menga—”

Dia menciumku kembali. Secara tiba-tiba.

Aku diam untuk beberapa saat. Memulihkan kesadaranku dan mendorong Renjun agar menjauh.

“kau ini kenapa?!” aku berbicara padanya setengah berteriak. “bisakah kau berhenti melakukan hal itu secara tiba-tiba?”

“maafkan aku, Harin. Aku hanya.....” kata-katanya terhenti. “aku benar-benar merindukanmu”

Aku berjalan melewatinya menuju ruang tengah dan dia mengekor dibelakangku.

“berhenti memperlakukanku seolah aku adalah milikmu. Jika melakukan itu hanya untuk taruhan lebih baik pergi sekarang karena aku—”

“kalau begitu jadilah milikku” Renjun memegang tanganku dan aku mendongak menatapnya.

Aku diam.

Benar-benar diam. Jika kebenaran itu tidak terungkap, mungkin sekarang aku mengatakan ya tanpa berpikir panjang.

“aku bukan boneka yang bisa kau mainkan sesukamu” responku memalingkan mukan dan duduk disofa.

Renjun mengikuti dan terus berusaha melakukan kontak mata denganku. Tapi aku terus menghindari tatapannya.

“dua menit” ucapnya, “aku hanya butuh dua menit dan setelahnya kau bisa memakiku, sepuasmu”

Aku menatapnya, berpikir apakah aku harus menerima tawarannya atau tidak.

“kau juga boleh menamparku jika kau ingin” tawar nya lagi. Aku tersentak. Tentu saja. Tawaran macam apa itu.

Tapi aku menyembunyikan ekspresi itu dan berlagak acuh tak acuh.

“katakan apa yang ingin kau katakan, sekarang”

“baiklah, aku...”

Kenapa Renjun selalu menggantung kalimatnya. Aku mendelik kearahnya sebelum akhirnya dia memegang tanganku seperti berusaha meyakinkanku.

“aku tidak tahu harus mulai dari mana, tapi aku serius tentang ucapanku sebelumnya. Semua yang Xion katakan tidak semuanya benar. Maksudku, Xion mengatakan yang sebenarnya, semuanya, tentang kau dijadikan taruhan dan aku harus bisa membuatmu menyukaiku, lalu setelahnya aku bisa membuangmu—” Renjun berhenti karena aku menarik paksa tanganku darinya.

Kenapa aku mau mendengarkannya. Ini terasa seperti aku sedang mendengarkan ejekan bodoh dari Renjun mengatakan bahwa aku benar hanya gadis bodoh yang bisa dipermainkan sesuka mereka saja.

“cukup, aku sudah cukup mendengarnya!” tolakku pada Renjun dan berusaha menjauh karena tidak ingin ia tahu bahwa aku sedang berusaha untuk tidak menangis..

“tidak, Harin, dengarkan aku. Aku belum selesai”

“sudahlah, Renjun. Semuanya sudah selesai, akui saja, aku menyukai mu dan kau membuangku!”

“aku tidak membuangmu, Harin!” serunya dengan suara yang menahan marah. “aku tidak membuangmu, bagaimana aku bisa membuang seseorang yang aku juga sukai!”

Boom. Aku membeku. Kata-katanya benar-benar mengejutkanku. Menyukaiku juga katanya? Apakah dia sedang bercanda?

“ya! Kau membuangku!” sahutku sarkas.

“aku tidak! Bagaimana bisa kau berpikie seperti itu?” tanya nya sambil memegang bahuku dengan kedua tangannya.

“kau terus-terusan menghilang dan tidak kabar, tidak sekali dua kali, Renjun. Dan dihari semuanya terungkap, sebelumnya kau juga menghilang, tidak ada kabar selama berhari-hari. Aku mencarimu dan, boom! Semuanya terungkap! Itukah yang sebut tidak membuangku?!” kata-kataku meninggi lengkap dengan airmataku yang sudah tidak biaa kutahan lagi.

Sempatku lihat tatapannya melembut saat melihatku menangis, “tolong jangan menangis”

Aku menggubrisnya.

“aku tidak menghilang, aku mengurus sesuatu yang penting. Tidak bisakah kau mengerti aku, Harin?” tanya nya.

“itu dia. Itu dia masalahmu, Renjun. Kau memintaku untuk mendengarkanmu, memintaku untuk mengerti padamu tapi kau tidak pernah mau mendengarkanku, tidak pernah mengerti aku. Bisakah sekali saja kau memikirkan perasaanku? Setidaknya beri aku kabar jika kau punya urusan yang penting”

“kita saat itu belum punya status apa-apa. Kenapa aku harus repot-repot seperti itu?”

Apakah dia sedang bercanda. Rasanya aku ingin tertawa saat itu juga.

Ternyata benar, aku memang hanya sebuah permainan. Aku tidak sebegitu pentingnya untuk Renjun. Siapa aku dengan beraninya menyuruh nya mengabariku padahal kami bukan siapa-siapa.

“ah. Jadi itu intinya. Sekarang aku mengerti!” ucapku sambil mengusap pipiku yang basah.

“tidak, Harin. Maksudku tidak seperti itu, dengarkan aku....”

“pergi sekarang, Renjun!” usirku sambil berjalan ke pintu depan.

Renjun berusaha memegang tanganku tapi aku terus menariknya dengan paksa.

“Harin...”

“pergi!” pintaku lagi.

“tolonglah” rengeknya tapi aku hanya melengos tidak berniat untuk melihatnya.

Renjun diam sebentar sebelum akhirnya benar-benar pergi tanpa berpamitan.

Aku tidak perduli, semuanya sudah berakhir. Aku tidak boleh menangis!

[s2]A Whole New WorldTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang