Teruntuk Azkifara, terima kasih karena sudah mendukung tulisanku. Muse aku dedikasikan untukmu :)
Dan untuk para RFM, semoga enjoy dan bisa mengobati rasa kangen membaca fanfiction RiFy! (Di sini aku pakai nama tengah mereka, ya.)
'
'
"Fika! Makan dulu, astaga!"
Mata Nada mendelik, melangkahkan kakinya secepat mungkin menuju Fika yang masih terduduk di meja belajarnya. Bukan pemandangan yang begitu bagus, bahkan Nada sendiri prihatin melihat sahabat yang dikenalnya sejak duduk di sekolah dasar itu menatap layar laptop dengan pandangan frustasi.
Selimut berwarna cokelat muda menenggelamkan sebagian tubuh Fika. Kaki gadis itu tertekuk di atas kursinya. Ia memandang Nada dengan matanya yang sudah memerah akibat kurang tidur. "Nada, gue nggak bisa nulis. Gue nggak tahu mau nulis apa!"
Nada menghela napas berat. Diliriknya layar laptop yang masih menyala dengan baterai hampir habis. Di sana terpampang aplikasi word dan ia tidak menemui sebaris pun kalimat di dalamnya. "Jangan dipaksa. Lo makan dulu. Kemarin lo cuman makan sekali. Siapa tahu ilhamnya datang setelah itu," katanya mencoba menenangkan Fika.
"Nggak bisa. Kalau gue santai, hari ini nggak ada yang bisa gue bikin lagi! Gue butuh inspirasi, Nada. Bukan nasi!"
Fika membenturkan dahinya di sudut meja belajar sedikit keras, membuat Nada meringis melihatnya. Sebelum Fika menghancurkan organ tubuhnya sendiri, Nada cepat-cepat menarik kepala gadis itu menjauh dari meja. Mengambil paksa selimut yang melingkupi Fika dan membuangnya ke sembarang tempat. Tangan kurus Fika ditariknya membuat si empunya meronta-ronta minta dilepaskan. Nada tidak peduli meskipun Fika merengek seperti anak kecil. Kalau Nada tidak memaksa, bisa-bisa Fika muncul di headline koran besok pagi. Tidak lucu kalau publik tahu seorang penulis novel teenlit yang sedang naik daun sekarat di rumahnya sendiri karena gagal menemukan inspirasi.
Fika duduk dengan bibir mengerucut di sofa ruang tamu. Bola matanya mengikuti pergerakan Nada yang sibuk mengambilkan nasi dan lauk pauk yang Fika yakin, bukan Nada yang memasaknya. Dengan wajah sumringah Nada membawa piring yang sudah penuh dan segelas air putih ke hadapan Fika.
"Makan! Gue sudah kasih guna-guna biar lo dapat inspirasi."
Fika menerima piring di tangan Nada dengan berat hati. Ia menyendokkan sesuap nasi, lalu matanya mendadak berbinar. Yang semula menyuap dengan gerakan pelan, kini berubah menjadi sedikit tergesa-gesa. Tidak menampik juga kalau perutnya sudah mengadakan konser sejak subuh tadi. Nada yang melihatnya berdecak, untung saja ia memaksa Fika untuk makan.
"Kok bisa sih lo ngestuck? Ini pertama kalinya lho gue ngelihat lo nggak bisa nulis satu kata pun di laptop lo," tanya Nada heran. Gadis itu menyalakan radio yang ada di sudut ruangan dengan volume kecil, lalu duduk di samping Fika yang hampir menyelesaikan sarapannya.
Ditanya seperti itu membuat perut Fika mendadak kenyang, padahal nasi dan lauknya tersisa setengah. Ia meletakkan piring di tangannya ke meja, meneguk tandas air putih sebelum menjawab Nada, "Kalau tahu, gue sudah ngatasin itu dari lama. Apa gue mulai bosan nulis, ya?"
"Gue yakin bukan bosan alasannya. Masih ingat beberapa tahun yang lalu lo mau nyerah karena lo pikir cerita yang lo buat sama sekali nggak menarik? Nah, coba bayangin kalau waktu itu lo beneran nyerah, lo nggak akan sampai di titik ini, Fik. Novel lo sudah mejeng di mana-mana!"
Ucapan Nada ada benarnya. Fika juga benar-benar bersyukur ia tidak menyerah dengan mimpinya. Novelnya yang berjudul R(a)in meledak di pasaran. Masalah utamanya adalah novel itu terdiri dari tiga seri, semuanya mengambil tema hujan. Setelah setahun yang lalu menerbitkan buku keduanya, nama Saufika Adriani semakin dikenal masyarakat Indonesia, khususnya para pecinta fiksi remaja yang menggemari kisah cinta manis memabukkan. Memiliki pengikut jutaan di akun wattpad, belasan cerita dengan pembaca tidak kalah banyaknya, membuat nama Fika semakin membubung. Ia sudah sering diundang ke seminar kepenulisan, memberikan ilmu dan pengalamannya, membuat setiap orang yang memiliki mimpi menjadi seorang penulis semakin bersemangat. Wajar 'kan kalau sekarang Fika merasa frustasi karena buku ketiga dari seri hujannya belum rampung juga. Fika sudah memiliki bayangan alur, tentu saja ia sudah menentukannya sejak hari pertama memutuskan untuk menulis cerita tersebut. Sayangnya, entah mengapa, setahun setelah penerbitan buku keduanya Fika belum bisa menuliskan kelanjutan bukunya. Mungkin, kesibukannya di kampus yang sudah memasuki semester tua membuatnya tidak fokus. Maka dari itu, sejak lulus lima bulan lalu, ia memantapkan diri untuk menyelesaikan novel ketiganya sebelum mencari pekerjaan tetap. Menumpang di apartemen temannya yang terletak di jantung kota dengan segala kehidupan metropolitannya adalah salah satu upaya untuk mencari inspirasi yang mungkin tenggelam jauh di dalam berkas-berkas otaknya.
"Gue dikasih deadline tiga bulan lagi, Nad," Fika mengusak rambutnya sampai berantakan, "Gue takut apa yang gue tulis di buku ketiga nggak sesuai ekspektasi orang-orang. Mereka sudah terlanjur naruh harapan tinggi ke novel gue. Oke, itu bagus. Semua itu nyemangatin gue, tapi di satu waktu juga buat gue tertekan."
Nada berpikir keras. Mengatakan semuanya akan baik-baik saja juga percuma karena ia bisa mengerti bagaimana perasaan Fika sekarang. "Fik, atau sebenarnya lo gagal nulis karena patah hati?"
Fika merengut. Ia menatap Nada kesal dan berkata, "Mana ada! Apa hubungannya nulis sama patah hati?"
"Lo dulu pernah bilang kalau Galang selalu jadi inspirasi lo. Walaupun, ya, agak mengenaskan sih mencintai sendirian. Tapi, nggak pedulilah selama kita masih sering jalan bertiga, Galang masih nempelin lo kayak anak itik sebelum dia nikah."
"Terus?"
"Lo pernah dengar kata muse?"
Dahi Fika mengernyit. "Apa lagi itu?"
"Muse dalam mitologi Yunani itu adalah sekolompok dewi seni, sumber dari inspirasi. Gampangnya, Galang adalah muse lo. Kalau dipikir-pikir, setelah tahun lalu Galang nikah, lo patah hati berat, dan nggak lama setelahnya, lo mulai stuck. Apa artinya? Lo kehilangan muse! Oh, ya ampun, Fika! Gue jenius! Fik, dengarin gue baik-baik." Nada menjerit kegirangan, kalau boleh Fika berlebihan, gendang telinganya sampai berdenging karena teriakan gadis di depannya. "Lo perlu pengalaman kencan! Lo perlu nemuin muse baru!"
Fika menggelengkan kepalanya cepat. "Nggak! Lo kira gampang nyari cowok yang mau diajak kencan dalam waktu dekat? Lagian, gue sudah nggak sedih lagi gara-gara Galang. Sudah ikhlas lahir batin."
"Jangan nolak! Lo belum coba, Fik. Lagian, ya, ini jadi kesempatan lo nyari jodoh. Heran sih gue, lo nggak pernah pacaran tapi bisa ngebangun karakter tokoh cowok yang digilai banyak orang," ucap Nada lengkap dengan kekehan geli.
"Ya, mungkin karena gue belum pernah pacaran dan karakter yang gue buat adalah tipe-tipe cowok yang pengin gue temuin."
"Nah, sekarang sudah saatnya lo ngewujudin karakter impian lo itu." Nada menatap layar ponselnya dengan antusias sembari bergumam pelan, "Di novel ketiga ini karakter cowoknya tsundere, 'kan? Dingin tapi peduli. Hm... Oh! Kenapa nggak lo coba sama Stevano?" katanya menyodorkan ponsel ke hadapan Fika menampilkan sebuah foto seseorang yang sedang berpose candid di dalam museum lukisan.
Bukannya antusias, Fika malah mencibir Nada dengan tatapan tidak percaya. "Lo benaran nyuruh gue buat kencan sama dia? Orang yang sudah mempermalukan gue waktu SD? Hell, No!"
Pecah sudah tawa Nada. Gadis itu sampai meringkuk dan menggulingkan tubuhnya di lantai. Ingatannya masih segar walaupun sudah terjadi bertahun-tahun lalu. "Legend pada masanya, Fik. Sumpah, besok pas reunian teman-teman pasti masih ingat kejadian lo sama Stevano dulu!"
"Nada, nggak lucu, ah!"
"Bagi gue lucu! Gara-gara ada tulisan 'I love you' di bungkus permen yang dikasih Stevano, lo ngira dia lagi nyatain perasaan, eh ternyata karena lo... karena—HAHAHA! Aduh, nggak bisa ngelanjutin. Sakit perut gue!"
Fika bangkit dari duduknya sambil menghentakkan kaki. "Ketawa aja terus sampai pita suara lo putus! Nyebelin!" ungkap Fika dengan kekesalan yang memuncak. Langkah kakinya dengan cepat memasuki kamar dan membanting pintu cukup keras.
Nada menyeka air matanya yang menetes. Ia tersenyum jahil sembari menatap pintu kamar Fika yang sudah tertutup. Pandangannya teralih menatap layar ponsel yang masih menunjukkan foto cowok bernama Stevano. Sebuah ide lagi-lagi muncul di otak cerdasnya.
'
'
P.S :
R(a)in itu ceritaku, ya. Hahaha! Sekalian promosi :)
KAMU SEDANG MEMBACA
MUSE [10/10 END]
FanfictionKetika Fika kehilangan inspirasinya, Stevano datang menawarkan kisah untuk ia ceritakan. Copyright 2019 by Aksara- [RiFy Area]