Ini sudah dua minggu lamanya semenjak Fika menyadari bahwa muse memang ada. Tetapi, ia masih ingin membantahnya. Terlebih, Stevano adalah orangnya. Ingat 'kan Stevano yang mengatakan sendiri kalau mereka berpacaran? Sepertinya, itu hanya omong kosong. Pemuda itu tidak pernah mengiriminya pesan. Bukannya Fika berharap, ya, tapi itu berarti Stevano hanya main-main dan ingin menggodanya saja. Berada di satu gedung apartemen membuat Fika malas untuk keluar kamar. Takut-takut bertemu dengan Stevano yang sebenarnya jelas hanya ada ketika sore menjelang malam—tolong diingat Stevano itu pekerja kantoran seperti Nada.
Tadi pagi ketika Fika membuka mata, Nada sudah berangkat kerja. Jadilah, ia terpaksa turun ke warung nasi yang lauk pauknya hampir habis, Fika hanya mendapat jatah telur, ikan pindang, dan tempe. Tidak apa, itu adalah hal yang lebih baik daripada mendapat pesan dari penerbitnya. Kelanjutan novelnya kembali dipertanyakan. Tidak dengan tuntutan sih, tetapi tetap saja memberikan tekanan terselubung untuk Fika. Intinya, apa pun bentuk pesannya, kalau sudah dari pihak penerbit akan membuatnya merasakan frustasi. Ia ingin meminta tolong pada Stevano, tapi gengsi. Ingat tidak kata-kata pedas Fika di mini market? Setelah menyebut diri Stevano tidak berguna, bagaimana bisa ia berbalik meminta tolong pada pemuda itu? Wajah Fika mau ditaruh di mana?!
Wangi jeruk menguar dari tubuh Fika. Gadis itu mengusap rambutnya yang basah dengan handuk. Hari ini ia berencana pulang ke rumah sebelum ibunya mengamuk. Fika sendiri sudah tidak pulang satu bulan lamanya dan ibunya mengancam akan memotong uang jajannya. Meskipun Fika sudah memiliki gaji dari penjualan novelnya, bukan berarti keuangannya sudah mandiri. Royalti yang didapatkannya tidak begitu banyak—terlebih tidak semua diberikan tepat waktu—meskipun novelnya terjual laris di pasaran. Ibunya menuntut Fika untuk cepat-cepat mencari pekerjaan tetap setelah usai mengurusi segala persoalan novelnya.
Berterima kasih pada Nada yang sudah meminjamkan mobilnya pada Fika, gadis itu sampai dengan selamat di rumahnya.
"Ibu, Fika pulang!"
Fika memeluk tubuh ibunya yang sedang menjahit pakaian di ruang tamu. Dengan kaca matanya yang sedikit melorot, ibunya menatap Fika dengan pandangan tajam. "Kalau nggak dipaksa, setahun lagi juga nggak ingat rumah kamu."
"Ibu jahat, ih! Fika baru datang bukannya disambut, malah disindir." Fika merengut manja di pelukan ibunya.
"Sudah mandi?"
"Sudah."
"Kok masih bau kambing?"
Ibu Fika memang sepedas itu. Fika sendiri heran kenapa ia bisa menjadi anak ibunya. Eh, bukan begitu. Maksudnya, Fika sangat bersyukur menjadi anak ibunya, walaupun ibunya sangat galak dan berlidah tajam.
"Fika nggak like, ah! Ibu, Fika bukan kambing yang malas mandi."
Ibunya tersenyum gemas. Diletakkan baju yang tadi menjadi fokusnya, lalu membalas pelukan Fika. Mau senyebelin apa pun Fika, gadis itu tetap anaknya. Sikap Fika yang suka bermanja tidak pernah dijadikannya masalah. Justru ibunya suka. Jujur saja, ibunya merasa sedih ketika Fika memutuskan untuk diam di apartemen Nada dengan alasan ingin menuntaskan novelnya. Fika itu anak gadis, suatu hari nanti akan diambil lelaki yang mencintai anaknya. Ah, mendadak suasana hatinya menjadi melankolis. Ibunya jadi ingin bersama Fika dalam waktu yang lebih lama.
"Minjam mobil Nada lagi?"
"Iya."
"'Kan sudah ibu bilang, jangan ngerepotin Nada terus. Kasihan dia jalan kaki ke kantor."
"Ibu 'kan tahu, Nada memang suka jalan kaki ke kantor. Lagian, kantor sama apartemen dekat kok. Daripada mobilnya nganggur, mending aku pakai, 'kan?"
"Jangan dilecetin mobil orang, ya, Nak. Tapi, yang lebih penting, jangan sampai kamu yang lecet," kata ibunya sembari menarik hidung Fika. "Gimana kabar novelmu? Sudah jadi?"
KAMU SEDANG MEMBACA
MUSE [10/10 END]
FanfictionKetika Fika kehilangan inspirasinya, Stevano datang menawarkan kisah untuk ia ceritakan. Copyright 2019 by Aksara- [RiFy Area]