[10] Sebuah Awal

164 23 36
                                    

Fika menatap ratusan orang termasuk wartawan yang memadati ruangan teater tempat ia mengadakan launching novel ketiganya. Di paruh kedua sebulan setelah Fika pamit daei apartemen Nada, gadis itu benar-benar fokus mengurus novelnya, termasuk merevisi beberapa bagian atas anjuran editornya.

Fika tampak anggun dengan pakaian bertema monochromenya: celana kain hitam dan baju putih tanpa lengan berbahan linen yang dilengkapi pernak-pernik berwarna perak di area lehernya. Ia duduk menghadap ke arah penggemar dan juga wartawan yang satu per satu mengajukan pertanyaan seputar novel ketiganya yang lagi-lagi disambut dengan penuh keantusiasan.

"Kesulitan apa saja yang Mbak Saufika pernah temui ketika membuat novel ketiga ini?"

Fika berpikir sebentar, sebelum mengangkat mic untuk menjawab, "Tentu ada dan saya rasa, hampir semua penulis pernah merasakannya. Jujur, selama setahun belakangan setelah menerbitkan seri kedua, saya stuck, tidak ada ide untuk melanjutkan. Saya sempat sedih dan frustasi saat itu, takut kalau pada akhirnya saya tidak bisa menyelesaikan dan mengecewakan banyak orang. Tetapi, beruntunglah saya mempunyai orang-orang yang selalu mendukung saya," Fika memberi jeda untuk menggulirkan matanya ke tiap-tiap bangku di depannya. Mencari orang-orang yang sangat dinantinya untuk datang, "Teruntuk keluarga saya, Nada, dan khususnya... Stevano. Mereka adalah orang-orang di balik layar yang telah menginspirasi saya untuk tetap melanjutkan langkah hingga bisa sampai pada hari ini."

Fika tersenyum malu-malu ketika Nada mengangkat tangannya tinggi-tinggi dan ada Stevano di sebelahnya yang hanya mengangkat jempolnya dengan senyum lebar. Banyak kamera yang mengabadikan momen manis tersebut. Penggemarnya pun tak kalah heboh ketika nama seorang disebut-sebut.

"Oh, Stevano, ya? Jangan-jangan, tokoh cowok di novel ketiga ini banyak terinspirasi dari Stevano?" tanya MC di sebelahnya dengan nada menggoda.

Fika menggaruk tengkuknya. "Bisa dibilang begitu. Ketika saya kehilangan inspirasi, dia datang sebagai muse. Walaupun awalnya kami ini seperti kucing dan anjing, tetapi Stevano memberikan saya banyak inspirasi."

"Waduh, sepertinya, penulis tercinta kita ini terlibat cinta lokasi, teman-teman!"

Perkataan itu disambut seruan heboh yang menimbulkan gema di dalam teater. Fika tertawa gugup, melambaikan tangannya untuk menyanggah pernyataan MC tersebut, sedangkan Stevano hanya menunduk sembari tersenyum sembari menatap sebuah permen yang sedari tadi ada di genggamannya.

Wajah Fika sudah seperti kepiting rebus. Malunya tidak tertahankan setelah digoda oleh banyak orang. Beruntungnya, sesi tanya jawab tersebut telah habis, lalu dilanjutkan dengan foto bersama.

Fika tidak bisa mendeskripsikan perasaannya hanya dengan kata-kata. Hari ini sangat membahagiakan, lebih spesial dari hari-hari kemarin. Kalau kalian tanya hubungannya dengan Stevano, syukurlah, mereka tetap baik-baik saja dengan titel 'teman', tetapi dekat. Walaupun jarang bersitatap, Stevano tak jarang menanyakan kabarnya, membuat Fika tertawa dengan leluconnya ketika malam hari, atau sekadar menatap wajah masing-masing melalui video call. Rasa-rasanya, Fika semakin jatuh pada Stevano. Apa pemuda itu juga merasakan hal yang sama?

"Selamat, ya, Sayang," kata Ibu Fika, lalu memeluk putrinya erat.

Puncak kepala Fika ditepuk lembut oleh ayahnya dan Farhan yang masih setia mengabadikan momen berharga kakaknya.

"Ayah bangga sama kamu, Fik. Sukses terus, Sayang," sambut ayahnya ketika Fika beralih untuk memeluknya.

"Fika nggak akan bisa tanpa ayah dan ibu, juga Farhan. Han, nggak mau peluk kakak, apa?" tanya Fika merentangkan tangannya, setelah puas berpelukan demgan ayahnya.

MUSE [10/10 END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang