Sedari dulu aku selalu iri padanya. Dia bisa dengan mudahnya mendapatkan apa yang ia inginkan.
Sebelum kedua orang tuanya meninggal, mereka adalah keluarga terpandang dengan harta yang berkecukupan. —ah tidak, bahkan mungkin lebih dari cukup. Sangat jauh berbeda dengan keluargaku yang harus hidup pas-pasan.
Aku selalu senang ketika Seungkwan berkunjung ke rumah, karena berkat dia aku bisa merasakan bagaimana rasanya bermain dengan berbagai macam mainan tanpa harus memainkan yang itu - itu saja.
Dia sangat periang, sulit untuk tidak menyukainya. Para tetangga pun menyukainya karena ia sangat ramah, sopan bahkan tak segan bertegur sapa dengan siapapun. Bahkan jika kalian bertemu dengannya kalian juga pasti akan menyukainya. Ironisnya, semua kepribadian yang ada padanya itu sangat bertolak belakang denganku.
Aku tidak mudah bergaul, tidak percaya diri dengan penampilanku dan selalu kesulitan jika ingin bertegur sapa dengan orang lain—Dan semua yang pada diri Seungkwan membuatku iri .
Dia pintar untuk ukuran anak seusianya dan ia juga pandai mengambil hati orang lain. Semua orang selalu memujinya dan tanpa terkecuali ibu dan ayahku.
Mereka selalu membandingkan aku dengan Seungkwan. Katanya aku harus belajar banyak dari dia. Mereka selalu berlebihan dalam memuji Seungkwan. Bahkan selalu memanjakan dan mencurahkan semua perhatian mereka padanya, seolah aku tidak berguna. Hal itu membuatku muak tapi yang bisa aku lakukan? Hanya berdiam diri dan menerima semua itu. Itulah yang aku lakukan dulu.
Dan kecelakaan itupun terjadi. Kecelakaan yang menyebabkan kematian pada kedua orang tua Seungkwan. Hanya dia yang selamat, sedangkan kedua orang tuanya meninggal di tempat. Dia terluka cukup parah ketika itu.
Aku dan keluargaku segera pergi ke rumah sakit untuk menjenguk Seungkwan dan mengurus semua keperluannya. Ia terlihat hancur. Seungkwan yang diidamkan oleh semua orang itu telah hancur.
Jangankan tersenyum secerah mentari untuk membuka mata atau menggerakkan jarinya saja ia tak mampu. Dan kalian tahu apa yang aku inginkan ketika itu?
Aku berharap dia mati.
Terdengar jahat memang, tapi mau bagaimana lagi, dengan begitu tidak akan ada lagi yang membandingkan aku dengannya dan semua perhatian orang tuaku akan menjadi milikku. Aku hanya ingin hidup dengan nyaman tanpa ada orang yang menghalanginya.
Tapi sepertinya Tuhan memang membenciku, dan takdir yang ia buat memang bukanlah untukku. Sebulan kemudian, setelah melewati masa kritisnya Seungkwan sadar. Kedua orang tuaku menangis tak henti-hentinya mereka mengucapkan kata syukur pada Tuhan.
Ketika Seungkwan sadar, orangtuaku sibuk memperhatikannya dan tidak mempedulikan kehadiranku. Ketika Seungkwan ingin makan mereka suapi, ketika Seungkwan ingin memakan buah apel mereka kupaskan. Sedangkan aku? Ketika aku menginginkan sesuatu mereka menyuruhku melakukannya sendiri.
Sejak itulah kebencianku pada Seungkwan perlahan-lahan tumbuh.
Dia selalu mendapatkan apa yang ia mau tanpa perlu bersusah payah seperti yang aku lakukan. Ketika keadaan Seungkwan semakin hari semakin membaik, ia pun diperbolehkan untuk pulang. Dan aku senang sekali. Bukan karena kesehatan Seungkwan yang membaik, tapi karena aku tidak perlu bolak-balik ke rumah sakit ini sepulang sekolah untuk menemaninya.
Namun semenjak kepulangannya dari rumah sakit, perlahan-lahan sikap Seungkwan berubah. Dari yang tadinya ceria menjadi pemurung, yang tadinya selalu tersenyum kini selalu menangis. Matanya yang selalu berbinar kini redup. Seperti ada kesedihan yang tidak bisa ia gambarkan.
Puncak dari keherananku adalah ketika hujan tiba. Ketika itu Seungkwan tiba-tiba mengamuk dan melempar semua benda yang ada di dekatnya. Orang tuaku panik ketika melihat Seungkwan yang tadinya mengamuk kini tak sadarkan diri akibat kelelahan. Mereka lantas membawanya ke rumah sakit kembali.