"Sudah berulang kali kukatakan untuk tidak memikirkan mereka, Putri! Para prajurit memang sudah sewajarnya mengorbankan nyawa untuk keluarga kerajaan." Raja Rexter sering dibuat kesal oleh putri bungsunya. Namun, di sisi lain ia begitu mencintai Elea yang sangat mirip dengan mendiang sang istri.
"Tapi seharusnya mereka bisa ikut berlindung di tempat ini, Ayah," sahut Elea masih bersikeras terhadap pendapatnya. Sayang, sang raja tidak pernah mau mengabulkan permintaan itu.
"Kau jelas tahu alasannya, Elea. Ayah tidak akan pernah membiarkan orang-orang kotor itu menginjakkan kaki mereka di tempat suci ini. Dan satu yang ayah harapkan darimu. Jangan mengulangi kesalahan ibumu, Elea!"
Kini, Elea tak tahu lagi harus bagaimana menghadapi sang ayah. Gadis belia dengan tubuh sedikit berisi dan rambut panjangnya ini selalu kalah jika Raja Rexter sudah mengeluarkan nada kasarnya. Ia tidak akan membantah.
Silakan katakan Elea lemah, baru mendapat bentakan seperti itu saja, iris violetnya sudah berkaca-kaca. Bibir mungil putih pucat itu hanya bisa ia gigit. Kedua tangannya meremas masing-masing sisi dari pakaian yang dikenakan.
"Hentikan, Elea! Kau hanya menyakiti diri sendiri. Ayah tidak akan mengabulkan permintaanmu yang satu itu." Gadis berambut hitam panjang tersebut mendongak, menatap sosok kakak yang selalu memasang wajah teduh, tanpa senyum sedikit pun. Elea tidak pernah menyukai calon penerus ayah mereka. Bukan tanpa alasan, tetapi ada satu hal yang selalu membayangi dirinya sejak dulu, tiap kali dekat dengan Vroy.
"Kau tidak mengerti apa pun, jadi diamlah!"
Vroy hanya menatap sang adik dalam diam. Ya, percuma memang bicara dengan Elea karena hanya akan berujung seperti ini. Seandainya hal itu tidak terjadi. Namun, ia sendiri tidak dapat menahan takdir.
Mereka memandang ke luar jendela. Menyaksikan sendiri bagaimana para prajurit tersebut berlarian dan berusaha menyelamatkan diri mereka. Air sudah berubah warna dan kini hanya sedikit yang bertahan. Pihak kerajaan harus kembali menyibukkan diri untuk mencari prajurit baru lagi. Selalu seperti ini.
Elea masih berpikir, bahkan sejak pertama kalinya ia meminta kepada sang ayah untuk membawa orang-orang itu ikut masuk ke tempat ini. Namun, ia tidak pernah memiliki kesempatan untuk bicara lebih jauh. Selalu sampai pada batas ini, kemudian Raja Rexter lagi-lagi memarahinya. Elea hanya bisa merutuki diri sendiri, kenapa ia tidak memiliki lebih banyak keberanian?
Andai saja ia berhasil mengatakan sampai akhir apa yang ada di pikirannya? Elea sangat yakin mereka tidak perlu sering disibukkan untuk mencari prajurit-prajurit baru. Sebenarnya yang mereka butuhkan hanyalah sebuah tempat yang dibangun mirip seperti ini. Memang akan memakan biaya dan waktu yang cukup lama, tetapi gadis itu yakin jika cara ini sangat efektif.
"Tidak!" Pekikan Elea mengejutkan orang-orang yang berada dalam ruangan tersebut. Mereka melihat gadis itu menggeleng berulang kali dengan air mata yang sudah mengalir begitu saja.
Di luar sana, terlihat jelas seekor ikan pirana dengan tubuh berukuran besar bila dibanding yang lainnya menerkam seorang anak kecil. Entah darimana datangnya anak itu? Namun, hal mengejutkan sebenarnya memang pada ikan seukuran anak kecil yang dimakannya. Mereka benar-benar telah melewatkan hal ini.
"Ayah, kau harus mendengarku!" Elea kini menatap mata ayahnya. Ia tidak ingin diabaikan dan sang raja harus mendengar sekaligus mengabulkan ucapannya.
"Jangan membahas hal itu lagi, Elea. Kau sudah tahu jawaban ayah, bukan?"
"Bukan! Ini berbeda, Ayah." Gadis itu harus memastikan terlebih dahulu jika sang ayah benar-benar menyimak ucapannya. Kemudian, ia pun lanjut berkata, "Kau bisa membangun tempat seperti ini di luar sana. Jadi, kita tidak perlu membawa mereka masuk tempat suci ini."
Raja Rexter menatap putrinya tak percaya. Ia hanya bisa kembali tertawa, sedangkan Elea merasa benar-benar diremehkan. Pria paruh baya itu ingin sekali meneriakkan kata-kata menyakitkan di depan wajah anak bungsunya tersebut.
"Kau tahu? Kau sangat bodoh, Elea! Mereka sudah sepantasnya mati. Kerajaan tidak akan memberi kesempatan mereka untuk hidup nyaman. Karena hal-hal tersebut hanya membuat para prajurit menjadi malas. Lagi pula, Led Vatra tidak memerlukan banyak orang untuk hidup di sini." Ucapan Raja Rexter kini yang membuat Elea hanya bisa menganga tak percaya.
"Bagaimana mungkin kau berpikiran hal seperti itu?"
"Dengar, Putriku! Semakin banyak yang mati, maka sumber makanan kita tidak akan berkurang dan lagi kau harus ingat satu hal. Mereka menikmatinya. Mereka, para penduduk bodoh itu tidak pernah menolak sedikit pun aturan yang ada."
Egoiskah? Tidak! Karena memang itu adalah aturan mutlak.
Tidak ada lagi yang bisa gadis itu katakan. Percuma! Jika memang sang ayah sudah memiliki alasan dan membawa aturan, itu berarti semua normal. Elea hanya harus menerima keputusan ini dan menjalaninya dengan suka hati. Ah, tidak! Ia tidak akan bisa melakukannya. Apa yang bisa ia lakukan lagi?
Di saat itulah pikirannya tertuju pada sosok yang beberapa kali datang ke istana hanya untuk memenuhi panggilan. Pria berparut dengan tubuh besar dan iris hitamnya itu sangat sulit dilupakan. Lalu ketika mengetahui siapa nama sosok itu? Elea hanya bisa menatap diam-diam.
Ia tidak pernah percaya diri dengan tubuh yang bisa dibilang cukup berisi, pendek, dan wajah pucat tanpa rona. Elea takut, ketika pria tersebut melihatnya, maka di saat itu pula ia akan mendapat penolakan dan tatapan jijik. Dirinya tak siap akan hal tersebut.
Seine. Nama yang sungguh luar biasa. Pria yang setiap kali datang ke istana selalu mengenakan pakaian penuh darah. Menurut informasi yang ia dapat, pria itu termasuk salah satu incaran sang raja. Namun, Elea tak tahu, maksud incaran tersebut apakah dalam arti baik atau sebaliknya? Entahlah. Gadis itu hanya tahu Seine datang ketika memberi persembahan kelompoknya ke istana.
Namun, hari ini Seine tak datang. Padahal Elea sudah menunggunya seperti biasa, karena ia tahu cukup banyak logam yang didapat pria itu. Ia jadi berpikir bagaimana keadaan Seine sekarang? Setiap kali ada musibah seperti ini, hal yang semakin memperkuat tekadnya untuk membujuk sang ayah adalah demi pria yang dikaguminya tersebut.
***
"Boleh aku bertanya satu hal, Seine?" Eve merasa canggung dengan kesunyian ini, tetapi gadis remaja tersebut juga menikmati tubuh besar yang menggendongnya. Tidak ada jawaban berarti dari pria itu, hanya sebuah gumaman yang terdengar. "Kenapa kau menyelamatkanku?"
Seine lagi-lagi memilih diam karena ia sendiri pun tak mendapat jawabannya. Apakah karena Eve adalah adik Lay? Lalu apa? Ia sendiri tidak begitu peduli dengan perempuan itu. Apa untungnya menyelamatkan salah satu anggota keluarga kelompoknya? Ataukah mungkin ia memiliki hati? Ah, ini tidak mungkin! Benar! Hatinya sudah mati sejak dulu.
Perjalanan mereka tidak terlalu berbahaya setelah keluar dari rumah kecil itu. Seine sendiri agak sedikit bingung, tetapi tidak apa-apa. Ini lebih baik daripada menghadapi ikan-ikan itu. Namun, entah bagaimana napas Seine semakin sesak. Pasti karena gas tersebut.
"Sial!" Seine terjerembap karena bongkahan es yang dengan senang hati tiba-tiba saja memunculkan diri di hadapan mereka. Retak kembali dan ia tahu ini sangat tidak baik. "Tutup hidungmu, Eve! Aku tidak ingin direpotkan lebih dari ini."
Tanpa banyak bicara, gadis itu menurut begitu saja. Seperti ucapan Seine, gas dari dalam air tiba-tiba saja semakin menyengat baunya. Hingga mengganggu jangkauan pandangan akibat kabut yang dihasilkan. Pria itu benar-benar tidak tahu apa yang terjadi sekarang?
Karena belum pernah terjadi sebelumnya ketika ia merasakan lemas di sekujur tubuh. Seine terjatuh dengan Eve di punggungnya. Sedikit pun tubuhnya tak bisa digerakkan dan jika ada yang ingin membunuhnya, ini merupakan kesempatan terbaik.
KAMU SEDANG MEMBACA
Led Vatra [SUDAH TERBIT]
Misterio / SuspensoWarning 21+ Hidup di Led Vatra tidak memiliki pilihan; semua dituntut mengikuti aturan. Ketika memilih untuk menyerah, kau akan mati. Namun, ketika kau memilih maju, kematian pun sudah menunggu di depan mata. Hanya mereka yang kuatlah yang mampu ber...