Led Vatra - 10

34 9 4
                                    

"Hentikan, Seine!"

Tatapan Seine beralih pada sosok yang mengacaukan hiburannya. Padahal ia ingin mendapat tontonan menarik dari dua pria yang memiliki kedudukan di istana. Jika salah satu dari mereka mati, itu juga dapat lebih melancarkan rencananya.

Vroy dan jenderal kerajaan pun ikut mengalihkan perhatian mereka pada sosok yang tiba-tiba datang. Karena entah bagaimana sepertinya pria beriris abu-abu yang juga jarang dimiliki penduduk Led Vatra ini bisa mengontrol Seine.

Mungkin memang tidak sepenuhnya karena kedua pria tersebut justru saling bertatapan, seolah dapat berbicara dan mengerti maksud satu sama lain. Seine berdecap kesal sambil menggeram, terlihat sekali mencoba mengontrol dirinya.

"Kau merusak segalanya, Poxy!"

Poxy pun melangkah dengan membawa tujuh kepala juga di kedua tangannya. Begitu berada tepat di samping Seine, ia menatap balik kedua orang berkuasa dari istana. Menebak tujuan mereka datang, kemudian menggeleng begitu melihat sebuah kepala yang berada dalam antrian untuk dimasak oleh Lay.

"Kau benar-benar mencari masalah, Seine," ucap pria itu dengan nada tak percaya. Poxy tahu jika sahabat kecilnya memang sedikit tidak waras, tetapi ini sudah di luar prediksi. Bagaimana mungkin Seine menantang pihak istana sebelum mereka berhasil masuk ke dalam sana?

"Jangan coba-coba mendikteku, Poxy! Ini tidak ada hubungannya denganmu dan aku menginginkan hiburan." Seine kembali menatap dua pria yang masih diam menyaksikan perdebatan kecilnya dengan Poxy. "Lanjutkan! Jika salah satu dari kalian mati, aku akan mememuhi permintaan raja untuk datang ke istana sebagai tamu undangan."

Keangkuhan Seine membuat Vroy geram, ia tidak pernah merasa terhina seperti ini sebelumnya. Hanya karena seorang rakyat yang tidak memiliki kekuasaan apapun dengan mudahnya memerintah utusan tertinggi istana. Ini benar-benar tidak bisa ditoleransi. Lebih baik ia melenyapkan pria ini daripada hanya mendatangkan masalah di kemudian hari.

Namun, baru saja ia ingin mengucapkan sesuatu, sang jenderal sudah lebih dulu menahannya. Pria yang juga dianggap sebagai pamannya tersebut bersujud dan membuang pedang yang ia bawa. "Bunuh hamba, Yang Mulia Pangeran."

Tawa Seine pun pecah tepat ketika ia mendengar sang jenderal menyerahkan diri begitu saja untuk dibunuh. Ia benar-benar tidak habis pikir dengan orang-orang dalam istana. Apakah sebegitu berartinya raja dan keturunan mereka? Padahal raja sendiri tidak pernah memedulikan rakyat.

"Bukan itu yang kuinginkan, Wahai Jenderal Yang Terhormat! Aku ingin sebuah hiburan, pertarungan berdarah antara kau dan pangeran. Siapa yang lebih kuat di antara kalian? Aku rasa para prajuritmu pun penasaran dengan hal itu." Ucapan Seine kembali menyulut api yang hampir sedikit padam.

Keheningan tercipta, tidak ada satu pun dari prajurit itu yang berani mengeluarkan suara. Perasaan mereka bergejolak, ada sisi yang menolak, tetapi ada pula yang penasaran akan sehebat apa pertarungan dari dua pria tersebut? Namun, semua menahan diri karena ketegangan semakin merangkak naik.

"Seine!" tegur Poxy tegas, ia tak menginginkan situasi seperti ini. Sebagai salah satu orang yang biasa memberi pendapat dan dekat dengan Seine tentu ia tak ingin pria tersebut salah langkah. Menurutnya tindakan memancing emosi ini sudah berlebihan.

"Diam, Poxy!"

"Kendalikan dirimu, bodoh!" Kali ini Poxy pun terpancing emosi karena ia benar-benar tidak ingin Seine mengacaukan rencananya sendiri. Mereka sudah sampai sejauh ini dan jika hanya karena keinginan sesaat untuk memuaskan hasrat tentu harus dicegah. Ia tahu Seine akan sangat menyesal jika semua usaha mereka gagal.

Seine mendengkus kesal, kali ini keinginannya lagi-lagi harus ditahan. Terkadang ia bingung, kenapa Poxy bisa menjadi salah satu orang yang cukup ia hargai pendapatnya? Apakah karena mereka sudah kenal sejak kecil? Ia pun teringat sesuatu di masa lalu saat sang ibu mengatakan, "Kau memiliki teman yang sangat baik, Seine." Kalimat itu diucapkan setelah Poxy pergi dari kediaman mereka.

Ya, memang benar jika dulu hanya Poxylah yang mau menjadi temannya. Para penduduk Led Vatra melarang anak mereka bergaul dengan si iris hitam. Mereka selalu mengatakan jika pergaulan tersebut hanya akan membawa bencana. Karena pemilik iris hitam adalah pembunuh berdarah dingin. Mereka tidak pernah peduli baik kawan atau lawan.

Namun, saat itu sang ibu membuktikan jika mereka, para pemilik iris hitam masih memiliki sedikit hati nurani. Seine melihat jelas saat ibunya diseret ke istana oleh para prajurit tersebut tepat tengah malam. Itu semua hanya karena ibunya masih memiliki sedikit hati untuk tidak membunuh seorang wanita hamil. Sayang, justru kesialan yang menghampiri karena waktu sudah menunjukkan detik akhir dan ibunya gagal memenuhi target.

Sebuah pertanyaan saat itu berkeliaran dalam pikirannya, berlari ke sana kemari mencari jawaban. Kenapa ibu membutuhkan waktu yang sangat lama hanya untuk menghabisi dua puluh wanita di Led Vatra? Bukankah seharusnya sang ibu dapat membunuh dengan mudah?

Ketika ia bertanya kepada ayah, tidak ada jawaban yang didapat. Sang ayah terpuruk karena rasa cinta yang meluap dan tidak bisa menerima kematian ibunya. Pria terkuat di Led Vatra saat itu pun menjemput ajalnya karena kehilangan separuh jiwa. Sungguh kisah miris bagi para penduduk Led Vatra. Pasangan itu meninggalkan seorang anak yang sedang berkembang dan masih memerlukan bimbingan mereka untuk siap masuk ke medan pertempuran.

Kemudian Seine mengasingkan diri, ia pergi meninggalkan rumah yang sejak lahir ditempati. Anak laki-laki itu menempa dirinya sendiri dengan pengetahuan yang telah diajarkan oleh ayah dan ibu. Ia hanya berlatih dan terus berlatih, memperkuat diri untuk mengembalikan kejayaan iris hitam yang hampir punah.

Sebenarnya Seine mendapat jawaban dari bibinya, mengenai pertanyaan yang berlalu-lalang dalam pikiran tentang sang ibu. Wanita itu memang menahan diri karena ternyata ada sebuah kutukan bagi para wanita beriris hitam. Mereka sangat sulit mengontrol diri bila dibanding para pria. Karena jika sampai wanita-wanita itu lepas kendali, mereka akan sulit membedakan mana kawan dan lawan. Bisa dibilang kemungkinan besar, mereka akan membunuh keluarga sendiri. Maka dari itu ada sebuah kalimat yang menempel di benak para penduduk Led Vatra.

"Wanita lebih berbahaya dibanding pria."

Rasa kehilangan tersebut terpupuk terus-menerus hingga Seine dewasa. Pria itu melihat tumbuh kembang anak yang diselamatkan dengan mengorbankan nyawa ibunya. Ia membenci anak itu, terlebih pria yang merenggut nyawa ayahnya pun merupakan suami dari wanita yang diselamatkan sang ibu. Sungguh pria yang tidak bisa membalas budi. Karena itu pula Seine tidak menyesal ketika mengatakan kepada Lay jika ia sudah membunuh ayah wanita itu.

Seine juga tidak menyesal karena sudah membuat Eve mati. Memang ia ingin menyelamatkan gadis remaja tersebut karena namanya sama dengan sang ibu. Bisa dibilang wanita yang diselamatkan oleh ibunya tersebut membalas budi dengan memakai nama ibu Seine. Namun, ia tidak pernah bisa menerimanya.

Bagi pria itu, mereka adalah keluarga pendosa dan Poxy sangat mengerti hal tersebut. Maka, ketika ia membawa ikan pirana yang mencabik tubuh Eve ke hadapan Lay pun tidak ada rasa bersalah sewaktu dirinya menangkap tatapan sendu Poxy. Pada dasarnya, semua itu merupakan balasan dari kelakuan mereka di masa lalu. Seine hanya menjadi hakim yang menjatuhkan hukuman.

"Kau akan mendapatkan segalanya, Seine. Cukup mengalah untuk saat ini." Remasan Poxy di bahunya menyadarkan pria itu dari kenangan masa lalu.

"Kalau begitu ...." Tatapan Seine kembali kepada dua orang pria berpengaruh dari istana tersebut. Seringainya terbit dan ia melanjutkan ucapan. "Wahai pangeran dan jenderal, temani aku menikmati santapan siang ini, kepala penasihat adalah hidangan utama kita."

Led Vatra [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang