KyungsooDemi ketombe rambut Park Chanyeol, aku tidak bisa seperti ini!
Bayangkan! Tiang listrik itu memberi sederet ide yang menurutnya akan memberi kesan untuk Maya -- yang sebenarnya buruk menurutku.
Dari mulai taman bermain, perpustakaan, bioskop, salon (?), dan cafe. Selain bioskop, tidak ada satupun yang cocok untukku. Tidak tahu dengan Maya.
Satu-satunya ide yang kupikirkan hanyalah memasak untuknya, dan sesekali bernyanyi. Tapi Park Chanyeol sok tahu itu menyebut bahwa hal itu terlalu biasa. Aku malah memiliki firasat bahwa Maya tidak akan menyukai tempat-tempat yang disarankan Chanyeol, kecuali satu... taman bermain. Firasatku bisa saja salah, tapi siapa tahu kan?
Aku akan mengajaknya battle balap mobil-mobilan nanti.
"Waw! Kau sudah siap?", seru Chanyeol dengan setelan boxer dan kaos gombrong abu-abunya yang mahal dan bau. Ya, bau. Manusia jangkung itu selalu memakai kaos yang kini dipakainya selama tiga kali seminggu.
Jika aku berbaik sangka, bisa saja Chanyeol membeli kaos serupa dua atau tiga pieces. Tapi sayangnya aku adalah manusia dengan kadar prasangka buruk berlebih. Jadi yang kubayangkan hanya bau ketiaknya yang menempel di kedua sudut lengan atas kaos abu itu. Yaks.
"Hm," entah kenapa, aku selalu malas meladeni pertanyaan Park Chanyeol dengan kata-kata. Biasanya hanya deheman atau isyarat tubuh seperti anggukan atau gelengan atau gerakan alis.
Dia terlalu berisik untuk direspon.
"Jadi, kalian akan ke mana?"
Aku malas menanggapinya. Jadi, aku hanya menepuk pundaknya yang tinggi lalu melenggang pergi meninggalkannya.
Bisa kudengar ia berseru, "Yak Do Kyungsoo! Jangan lupa ciumannya! Arasseo? Ciuman!"
Sampah.
------
Pada akhirnya, aku hanya mengikuti feelingku saja. Aku kini tengah berada di dapur Maya ditemani nenek Jung yang tengah menonton siaran televisi.
Tadinya, aku menyiapkan rencana meminta izin kepada nenek Jung untuk memasak di dapurnya. Ia mengizinkan. Lalu aku meminta nenek Jung mengajak Maya, seketika saja ia malah memberi usulan agar memasak di tempat Maya saja.
Karena nenek Jung yang meminta, maka Maya tidak punya kekuatan untuk menolak. Ah, rasanya ingin sekali kupeluk nenek Jung atas komprominya yang luar biasa.
"Kita perlu beberapa bahan...", aku melirik Maya yang tampak kikuk membersihkan meja dapurnya. Mungkin ia masih teringat kejadian waktu itu.
Sebenarnya di sini akulah yang paling menahan malu. Siapa sih pria yang tidak malu jika dirinya sudah menyatakan perasaan dan jelas ditolak lalu berhadapan dengan gadis yang disukainya -- gadis yang menolaknya -- di satu ruangan di hari berikutnya? Atau setidaknya dari bahasa tubuhnya, Maya seperti menolakku.
Bukan Maya yang meresponku, melainkan nenek Jung. "kalian bisa pergi ke supermarket. Biar aku di sini saja."
Oh, aku cinta nenek ini.
"Aku saja! Aku bisa belanja sendiri," ujar Maya dengan intonasi kelewat tinggi. Hm, gadis itu memang masih tidak terbiasa.
"Andwae. Aku ikut. Ada beberapa kebutuhan pria yang ingin kubeli juga," ujarku.
Mata Maya menyipit, "kebutuhan pria?"
"Eu-- maksudku--" Kyungsoo bodoh!
"Deodorant, pembersih ketiak, wajah--- memang apa yang kau pikirkan?", celetuk nenek Jung sigap.
Memang itu maksudku. Itu! Kenapa susah sekali untuk aku menyebutkannya tadi?
Meski wajah Maya terlihat tidak terima, pada akhirnya ia menyerah juga. Jadilah kami pergi berbelanja berdua.
Ingatkan aku untuk memberi daging sapi royal Korea untuk nenek Jung!
"Pakai ini. Ini. Ini."
Masker, topi, kacamata. Maya memberiku semua miliknya. Aku memang tidak memakai apapun ke apartemen ini. Bukan karena aku bodoh, tapi karena aku tidak ingat. Fokusku terlalu tertuju pada bagaimana cara membuat gadis itu terkesan, tanpa sadar bahwa keselamatan ku masih harus dikedepankan.
"Kau tidak bawa hoodie?", tanya Maya.
Aku menggeleng.
"Jaket? Coat?"
Butuh beberapa detik sampai aku fokus pada pertanyaannya. "A--ah! Aku bawa jaket."
"Pakai."
Kemudian kami berjalan menyusuri jalanan kompleks yang lengang. Situasi yang amat mendukung, semoga di supermarket juga begitu.
"Memangnya kau mau masak apa?", tentu saja, Maya yang mengawali pembicaraan.
Aku terdiam sebentar. Berpikir apakah lebih baik menyebutkan rencana memasakku atau menyerahkan menu padanya.
"Kau mau kumasakkan apa?", tanyaku akhirnya.
"Hmmm," mata bulatnya melirik ke arahku sangsi. "Yakin bertanya apa mauku?"
"Ya, sebut saja."
Dan Oh Tuhan! Sebuah keajaiban senyumnya hadir. Sangat tiba-tiba sampai aku tidak siap. Hampir saja tubuhku oleng ke kanan.
Oke itu berlebihan. Tapi aku serius! Senyumnya semanis coklat! Dan bukan ia yang meleleh, melainkan aku.
"Aku ingin Mpek-mpek!"
Hah?
"Apa itu?"
Dan serangan ledakan tawa Maya Aronna menyerang pertahananku. Menggelegar. Hingga hatiku yang tak sempat terlindungi perisai besi terpental.
Rasanya ingin aku menyuruhnya untuk jangan tertawa. Karena kini akupun tidak bisa menahan tarikan di kedua sudut bibirku.
Melihatnya tertawa, aku ikut tertawa.
Hey, di sini akulah yang bertugas membuatmu terkesan! Bukan malah aku yang kau buat terkesan. Hhhh
"Itu makanan khas negaraku, Indonesia."
Oh. Rupanya manuverku menjelma boomerang. Jika sudah seperti ini, bagaimana dengan misiku? Bagaimana aku akan membuatnya terkesan dengan masakanku? Aku bahkan tidak tahu bagaimana bentuk Pepe yang tadi disebutkan Maya.
"Bagaimana? Kau bisa tidak?"
"Bisa." Sudahlah, ambil saja tantangannya. Aku bersyukur Lary Page lahir dan menciptakan teknologi serba tahu bernama Google.
"Yakin?"
"Tentu."
Selanjutnya bergantung pada kecepatan jari dan daya tangkapku. Semuanya, tolong doakan aku. Atau, kalian yang tinggal di Indonesia, tolong kirim Pepe yang dimaksud Maya ke depan apartemennya sebelum kami sampai! Cepat! Please! Kalian tidak akan membiarkan wajahku tak tertolong di hadapan Maya, kan?
-to be continue-
.
.
.Doakan Kyungsoo guys xD
See you in the next chapter! ;)
KAMU SEDANG MEMBACA
Amerta
FanfictionDi bawah langit biru, di pagi itu, di saat kita bertemu, kamu dan senyummu, pencipta degup lain di jantungku.