Perasaan pertama yang Maya sadari saat melihat Do Kyungsoo memasak di hadapannya adalah: ia merindukan rumah.
Indonesia, entah seperti apa rupanya sekarang ini. Komunikasi baru-barunya dengan orang rumah adalah semalam. Dua adiknya yang tengah menjajaki bangku perkuliahan menghubunginya lewat Skype. Dan begitu saja, dua jam terlewat tanpa terasa dengan canda tawa juga kalimat-kalimat rindu tidak hanya di antara mereka bertiga, tapi juga Ayah dan Ibu Maya. Mereka ikut bergabung saat Dina berteriak memberitahu seisi rumah perihal Skype yang mereka lakukan.
Tidak sering. Mungkin hanya terhitung satu Minggu sekali mereka berkomunikasi lewat video call seperti itu. Dan via chat mungkin hanya tiga hari atau empat hari sekali dan itupun hanya sekadar menanyakan kabar tidak lebih.
Maya rindu dan akan selalu begitu. Ada janji yang diazzamkan hatinya setiap kali sosok keluarga tertangkap matanya, yakni Maya ingin memberikan yang terbaik bagi mereka. Maya ingin mereka bahagia.
"Kau tahu? Bawang yang kau potong sangat menyengat," ucap Maya sambil menyeka ujung matanya. Hanya ia yang tahu bahwa yang baru saja ia katakan adalah sepenuhnya kebohongan. Kenyataannya adalah Maya menangis, dan ia terlalu gengsi untuk mengakuinya.
"Benarkah? Yah, kau menangis?", tanya Kyungsoo sambil mempercepat potongan bawangnya dan selesai.
Mengangguk, Maya berkata "akibat ulah bawangmu." Ia tidak tahu bahwa Kyungsoo tengah menahan hasrat untuk meniup matanya yang perih. Laki-laki itu memilih wortel sebagai bahan distraksi.
"Bawangnya bilang, dia minta maaf," ujar Kyungsoo sambil memotong wortel yang diam-diam mengundang rasa kagum Maya.
Bagaimana bisa seorang laki-laki memotong wortel dengan kecepatan luar biasa dan ukuran yang sama persis? Terlebih jika laki-laki itu memakai kacamata bulat dengan celemek motif garis-garis merah muda -- satu -satunya yang dimiliki oleh Maya -- dan memiliki kulit seputih susu? Oh, jangan lupakan tawanya yang seimut bayi.
Bagaimana bisa?
"Katakan padanya aku tidak akan memaafkannya."
Kyungsoo memasang tampang cemberut yang dibuat-buat, "katanya, bagaimana cara supaya dia dimaafkan?"
"Jadilah makanan enak, maka aku akan memaafkannya."
Lalu mereka tergelak. Bebas sampai kemudian agak canggung. Ketiadaan nenek Jung -- ia tengah mengurus pakaiannya yang lupa dicuci dan akan kembali sekitar entah, mungkin setengah atau satu jam lagi -- membuat situasi di antara mereka cukup sulit.
Meski Maya sudah memasang volume keras-keras pada televisinya, tetap saja, pikiran masing-masing mereka lah yang menguasai.
"Kau akan terus begitu?"
"Apa?"
"Tidak ingin membantuku atau apa begitu?"
Dan Maya hanya bisa menggaruk tengkuknya yang sebenarnya tidak gatal kemudian melangkah menghampiri Kyungsoo yang jaraknya hanya tiga meter dari tempatnya duduk.
"Apa yang kira-kira bisa kulakukan?", tanya Maya hati-hati. Gadis itu seperti enggan menyentuhkan tangannya pada apapun di atas meja dapur.
"Apa yang kau bisa?", tanya Kyungsoo dengan sama hati-hati.
"Hm, entahlah. Memotong sayur?"
Kyungsoo meringis, "sudah semuanya kupotong."
"Tinggal tersisa udangnya dan... bumbu? Kau bisa menghaluskan bumbu?"
Maya mengangguk tidak yakin hingga anggukan itu berubah menjadi gelengan di akhir. Lalu ia berdecak pasrah. "Kurasa hanya ada satu hal yang bisa kulakukan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Amerta
FanfictionDi bawah langit biru, di pagi itu, di saat kita bertemu, kamu dan senyummu, pencipta degup lain di jantungku.