Kamu mungkin tidak ingat sudah berapa pagi ibu atau ayah membangunkanmu agar tidak terlambat. Mulai dari tepukan lembut atau namamu yang pelan-pelan disebut. Tak jarang kamu malah menarik selimut lebih tinggi atau menawar sepuluh menit lagi.
Kamu mungkin tidak pernah tahu harga mainan kesukaanmu, atau mungkin perasaan bahagia mereka saat membelikan itu.
Kamu mungkin tidak ingat berapa kali ayah pura-pura rebah jatuh terkena tinju mungilmu, lalu ia akan meletakkanmu pada bahu. Berdiri dan menggendongmu keliling ruang tamu.
Kamu mungkin tidak tahu jumlah senyuman ibu saat ia melihatmu menghabiskan masakan buatannya, atau mungkin saat ia mencuci tempat bekalmu yang kosong tak bersisa.
Kamu mungkin tidak tahu sebesar apa rasa bangga ayah ketika mendengar pujian darimu atas usaha dan hasil kerjanya.
Kamu mungkin lupa sudah berapa kali menangis saat tersandung jatuh karena menabrak kaki meja atau tersenggol pintu.
Kamu mungkin bisa menghitung kehadiran orangtuamu saat mengambil hasil belajar maupun saat mengantarmu pada tahun ajaran baru, tetapi kamu mungkin tidak tahu kekhawatiran dan harapan yang mereka sembunyikan.
Kamu mungkin sudah lupa berapa kali mereka mengajarimu semua hal baru.
Kamu mungkin belum tahu rasanya melihat seorang anak tumbuh dewasa dan diri sendiri makin menua.
Mereka masih menyimpan kenangan tentangmu dalam aman, sesekali mengenang ketika waktu berjalan tak mengenal pelan. Disediakannya ruang yang selalu nyaman untuk sedikit menguapkan beban kerinduan. Kalau bisa, tiap keluarga pasti ingin menjaga semua yang tercinta dalam keabadian, agar tak perlu ada kematian. Tidak ada kehilangan, tidak merasakan kedukaan.
Tidak ada yang abadi, setidaknya sudah sempat berbagi.
Giliranmu menambah panjang daftar kenangan dan pengalaman, serta perasaan-perasaan yang terlalu hangat untuk diungkapkan.
Terima kasih pernah di sini.
Terima kasih sudah saling mewarnai.
—Aldo hoo