Bagian 2

2K 224 24
                                    

Jeongyeon berjalan gontai melewati sebuah gang sempit namun dipenuhi oleh hingar bingar keramaian lampu kerlap kerlip menggantung dan suara-suara menggema dari musik disco yang dimainkan serta orang-orang yang berlalu lalang sembari merangkul dan menggandeng pasangan satu malamnya masing-masing.

Meski malam semakin larut dan orang-orang di jalanan semakin surut namun tempat ini kian riuh oleh maraknya pengunjung yang datang.

Ia membenci keadaannya, tapi mau bagaimana lagi, pilihannya hanya ada dua, tinggal disini atau mati dijalanan.

Di hadapan sebuah rumah reot dengan warna tembok yang memudar, ia berdiri terpaku disana, terdiam seraya menatap nanar pintu kayu usang yang belum diganti atau dicat ulang selama bertahun-tahun.

Helaan nafas berat menguar darinya sebelum bergegas meraih engsel pintu lalu membukanya.

Seperti yang sudah-sudah. Rumahnya ini tetap kosong, gelap seakan tak berpenghuni. Walau ia tahu penghuni rumah lainnya sedang merintih di suatu tempat.

"Aah..."

Benar, seperti yang ia telah duga, penghuni lainnya tengah merintih tapi tak di suatu tempat melainkan kamar pribadinya.

Jeongyeon pun melengos begitu saja.

Dia cukup risih, oleh karena itu tanpa berlama lagi pemuda tersebut berlalu masuk ke kamarnya.

Melemparkan tas disertai tubuh lelahnya ke atas mattras, dia tertegun memandangi langit-langit kamarnya. Pikirannya kembali melayang ke pertemuan dengan kedua orang tua nayeon. Jeongyeon meringis dan tertawa pilu.

"Ahh...owh..."

Brukk..brukk..

"Hemmp..." lagi-lagi helaan nafas itu keluar. Dia bangkit kemudian dengan malas mengganti seragam sekolahnya.

*

*

"Terima kasih sayang..ini honormu untuk malam ini.." bisik lelaki botak yang menjadi pelanggannya hampir tiap malam tersebut.

"Thanks.." satu tangan memegang cerutu dan tangan lainnya meraih tumpukan beberapa lembar puluhan ribu won yang diletakkan di atas nakas.

Setelah selesai memakai kembali pakaian mereka, keduanya melenggang ke arah pintu utama.

"Bye..tiffany..sampai besok" kecupan nafsu dari sang lelaki hanya dibalas dengusan tipis oleh si wanita.

Sepergian pelanggan tetap nya, wanita itu segera menutup kembali pintu.

"Owh..kau sudah pulang.." dia melihat sepasang sandal yang sangat ia kenal tersusun rapi di sudut dekat pintu.

Dengan senyuman yang tercetak jelas di wajahnya, wanita itu segera melangkah ke arah kamar pria kesayangannya.

Dentingan melody terdengar dari balik kamar putranya, tiffany terus mendekat kemudian membuka sedikit pintu kamar yang untungnya tak dikunci.

Ditatapnya sosok yang memunggunginya. Sosok yang sibuk menekan setiap tuts demi tuts berwarna hitam dan putih yang berjejer di hadapannya.

Tiffany ingat betul bagaimana instrument mahal itu bisa mendarat dirumahnya.

Beberapa tahun yang lalu, seorang wanita tua, tetangga mereka berncana pindah ke kota lain. Mobil yang mengangkut barang miliknya sudah penuh dan tak muat lagi untuk membawa piano besar yang nampak berdebu dan tak terurus itu. Oleh karena itu sang pemilik pun memilih untuk menjualnya. Pada waktu itu, jeongyeon berdiri tak jauh disana, memandangi benda tersebut dengan air liur yang hampir terjatuh disudut bibirnya.  Sang ibu melihat wajah putranya, ia cukup sedih karena tak mampu mewujudkan keinginan sang putra. Dia tahu tentang bakat yang dimiliki anak itu, namun tak mampu berbuat apapun. Pada akhirnya setelah melalui pemikiran yang panjang, ia memutuskan untuk membeli benda itu dengan meminjam uang dari germo langganannya. Semua ia lakukan hanya demi kebahagian keluarga satu-satunya itu.

SPACE BETWEEN OUR FINGERS (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang