16. Bulan Purnama

27 6 0
                                    

"Terima kasih atas kuenya. Aku akan datang lagi bila ada acara penting, dan memesan kue di sini." Kami saling berjabat tangan.

Senyum tak henti-hentinya merekah dari wanita paruh baya di hadapanku, dia sangat senang dan juga, terlihat dari pancaran matanya bahwa ia begitu puas dengan kue pesanannya yang ia pesan di sini. Wanita paruh baya ini memesan kue untuk ulang tahun pernikahannya, ia memesan tiga hari yang lalu.

"Terima kasih kembali. Semoga harimu menyenangkan," balasku sambil tersenyum manis.

Dia menyodorkan beberapa lembar uang. "Untuk kembaliannya, ambil saja untukmu."

"Terima kasih," kataku sekali lagi.

Wanita paruh baya itu sudah berlalu pergi. Sekarang sedang tidak ada pelanggan, lebih baik aku mengecek keuangan, takut-takut ada yang kurang atau lebih. Aku sedang asik menghitung dan mendengar pintu toko terbuka, tapi aku tidak menoleh sama sekali. Pasti pembeli akan melihat-lihat kue terlebih dahulu, lalu setelah menentukan pilihan, maka akan di bawa ke kasir.

"Ekhemm.." Aku mendengar deheman seseorang, dan aku dapat merasakan ada orang yang berdiri di depan meja kasir, tapi aku tidak mengubrisnya sama sekali karena terlalu fokus menghitung, dan takut salah menghitung dan berimbas aku yang harus menanggungnya.

Sepertinya dia masih berdiri di sana. "Kau bisa melihat-lihat dulu kuenya di sana," ucapku tanpa menoleh. Tapi sepertinya dia tidak beranjak sama sekali dari tempatnya, dan aku tidak peduli dia pergi atau tidak.

"Aku tidak makan."

Aku tersentak kaget saat mendengar suara dan kata itu. Ku dongakkan kepalaku ke atas, dan ternyata yang ku lihat adalah seorang pria tegap dengan ekspresi datar seperti biasa-pria itu adalah Javier. Ya siapa lagi bila bukan Javier, karena hanya dia saja yang memiliki ekspesi seperti itu, tidak ada satu pun manusia yang memiliki ekspresi wajah dingin dan datar seperti Javier. Karena sejatinya dia memiliki ekspresi itu pun karena dia seseorang yang bukan manusia, mana ada manusia normal yang seperti itu.

Tapi tunggu, aku merasa ada yang berbeda dari Javier. Aku terus menilik setiap inci wajahnya, dari mulai ujung rambut hingga turun ke pelipis dan ke alis kemudian ke mata, dan aku tahu sekarang kenapa dia tampak berbeda. Iris mata--iris mata yang biasanya merah, semerah darah kini berubah menjadi abu-abu terang, dan dia memiliki kekuatan itu, dia tidak bebohong. Sempat terlintas di pikiranku, apakah dia orang sama yang ku temui di hutan dan tinggal bersamaku? Javier tidak semenyeramkan seperti biasa  saat warna matanya berwarna abu, dia seperti lebih ramah dan hangat. Tetap saja perubahanya itu tidak merubah sedikit pun kerupawanannya, bahkan dia sangat tampan. Tapi, apa pun yang warna matanya dia akan selalu tampan.

"Apa kau tidak mengenaliku?" Aku tersadar dari lamunanku saat mendengar suara Javier.

"Apa yang kau lakukan di sini? Dan kenapa kau bisa tahu aku di sini?" tanyaku.

Javier tersenyum miring. "Membantumu, mungkin. Dan tidak sulit untukku untuk menemukan suatu hal, bahkan itu terlalu mudah."

Sombong sekali dia, batinku. Aku hanya mengangguk kecil.

"Kau menggunakan kekuatanmu?" tanyaku lagi.

"Bisa dibilanng begitu," balasnya.

"Dasar sombong!" gumamku

"Jangan mengumpat! Aku bisa mendengarmu."

Aku mendengus kesal dan memutar bola mata jengah atas sifat angkuhnya.

"Kau ingin membantu? Tapi sayangnya tidak ada yang dapat kau bantu di sini. Jadi sebaiknya kau pulang!" perintahku.

"Memangnya kau siapa? Kau tidak berhak mengusirku," Javier dengan santai menjawab itu. Sial!

The Decrees Of The DestinyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang