Aku menoleh ka arah Javier, dia sangat menawan. Kami masih berdiri di taman dan menikmati betapa indah taman yang sedang ada dihadapan kami. Mungkin bila Javier kubawa untuk berkeliling kota pasti akan banyak yang mengaguminya bahkan pasti ada yang berani terang-terangan merayunya. Aku terus memperhatikan wajahnya, mungkin bila wajah itu tersenyum pasti akan sangat menawan, atau mungkin berkali-kali lipat. Setelah beberapa saat dia menoleh ke arahku dengan tatapan andalannya itu.
"Ada apa kau melihatku begitu intens seperti itu?" tanyanya tanpa ada ekspresi apa pun di wajah tampannya.
"Tak bisakah kau tersenyum sedikit Javier?" tanyaku sambil langsung menoleh ke arah taman di hadapanku karena aku tidak ingin ia tersinggung atas perkataanku.
"Tidak" jawabnya singkat.
"Kenapa?"
"Aku tidak suka tersenyum dan aku tidak tahu caranya tersenyum"
Aku langsung tertawa mendengar kata itu keluar dari mulutnya. Apa dia bilang? Dia tidak tahu caranya tersenyum? Benar-benar orang ini, sangat-sangat aneh.
"Kenapa kau tertawa? Apa ada yang lucu?" dia melihat ke arahku sambil mengangkat sebelah alisnya saat bertanya itu.
"Tidak. Hanya lucu saja. Kau tidak tahu caranya terasenyum? Ayolah, kau harus menikmati hidup. Kita tidak tahu kapan kita harus pergi untuk selamanya"
"Lagi pula aku tidak akan pergi kemana-mana. Aku akan tetap di sini"
"Maksudku adalah kita pasti akan meninggal, bukan? Jadi sebelum itu terjadi kita harus menikmati hidup, iya kan?"
"Tidak. Aku tidak sepertimu"
Apa maksudnya tidak sepertiku? Aku tidak mengerti dengan perkataanya. Aku merasa ada maksud lain di dalam kata-kata itu.
"Aku ingin bertanya sekali lagi, apa kau tak bisa tersenyum walau hanya sedikit saja?"
"Aku tak bisa. Tak bisakah kau tidak memaksaku?" dia berkata sambil melihatku dengan tatapan yang sangat menakutkan.
"Baiklah, baiklah. Bila kau tidak bisa, aku akan mengajarimu caranya tersenyum" aku menoleh dan tersenyum manis ke arah si pria es itu.
"Dengan cara apa?"
"Kau akan lihat nanti." ujarku sambil mengedipkan satu mata.
Aku berjalan ke tengah taman untuk melihat kolam dan patung kelelawar itu. Di setiap langkah, aku tidak henti-hentinya mengagumi ke indahan hamparan bunga yang berada di sini, sesekali aku menyentuh bunga-bunga yang berwarna-warni itu. Sementara di belakangku ada Javier yang entah kenapa langkah kakinya tidak terdengar, aku fikir pria itu tidak ada tapi saat aku menoleh ke belakang ternyata pria itu ada dan sedang menatapku dengan wajah yang sangat datar.
"Bagaimana kau bisa menanam semua jenis bunga sebanyak ini?" aku bertanya sambil memegang bunga mawar yang memiliki warna dan semerah darah.
"Aku tidak tahu. Ibuku yang menanam semua ini"
"Lalu di mana ibumu sekarang?"
"Ibuku ada di kastil utama, yaitu tempat ia dan ayahku memerintah"
Kastil utama? Memerintah? Apa maksudnya? Aku tidak mengerti. Apakah ayah dan ibunya seorang ratu? Ah, mana mungkin di zaman modern seperti ini ada kerajaan di kota seperi ini. Apalagi negara ini bentuk pemerintahnya bukan kerajaan, apa pria ini sedang mengkhayal ya?
"Apa kastil utama yang kau maksud itu lebih besar dari kastil ini?
"Ya, di sana itu istana dan di sini hanya kastil kecil"
KAMU SEDANG MEMBACA
The Decrees Of The Destiny
FantasíaKesendirian adalah hal yang tidak asing bagi seorang Allison Jose Herold. Karena dia menjalani hidupnya sendiri. Ayah dan ibunya sudah meninggal. Oleh karena itu ia hidup sendiri dan melakukan segalanya sendiri. Dan satu hal lagi, ia sangat suka men...